DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
...........................................................................................
1.1
Latar Belakang...............................................................................
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
2.1 Asal-usul Wangsa
Isyana...................................................................
2.2 Kehidupan Masyarakat........................................................................
2.2.1 Aspek
Kehidupan Ekonomi...........................................................
2.2.2 Struktur
Birokrasi.........................................................................
2.2.3 Administrasi
Pengadilan......................................................
2.2.4 Keadaaan
Masyarakat.........................................................
2.3 Penyebab Runtuhnya
Kerajaan Mataram Kuno.....................................
BAB III METODOLOGI
PENULISAN............................................................................
3.1 Jenis dan Sumber Data.........................................................................
3.1.1 Jenis Data .................................................................................
3.1.2 Sumber Data....................................................................
3.2 Teknik Pengumpulan Data....................................................................
3.2.1 Interview................................................................................. 3.2.2 Kepustakaan
BAB IV PENUTUP............................................................................................
4.1 Kesimpulan................................................................................
4.2 Saran……………………………………………………………………………………………..
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang
banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10
kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok yang
kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah Makuthawangsa
Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai penutup Kerajaan Mataram
Kuno atau medang.
Secara umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3
dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra,
dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan
Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru
membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok
merupakan lanjutan dari kerajaan mataram.Dengan demikian Mpu Sindok dianggap
sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke
Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan
Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur.
1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimana asal-usul terbentuknya Wangsa Isyana? Dan
bagaimana masa Dharmawangsa Teguh?
2.Bagaimana kehidupan masyarakat kerajaan Mataram Kuno
setelah berpindah ke Jawa Timur?
3.Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Timur?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Asal-usul
Wangsa Isyana
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana
Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang
(929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan agama yang dianut, Mpu
Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa
yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan
pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya
adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat
disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan
Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu
kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota
dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang
sekarang. Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia
juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang
baru tetap bernama Mataram, sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun
865 Saka (943M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu
Sindok dalam kelurga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang di
permasalahkan. Seperti yang telah dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku
jabatan Rakai Halu dan Rakryan Mahapatih
i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang sah,
siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu kawin dengan putri mahkota untuk dapat
menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948
M. Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar
ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu
bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang
ditetapkan menjadi sima atas perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan
dan sawah kakatikan di Anjukladang.
Dapat dilihat bahwa memang
Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat dalam
prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam
prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya perpindahan pusat kerajaan ke Jawa
Timur tidak perlu desertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami
karena sejak Rakai Watukara dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah
meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga sana-sini raja bawahan atau
penguasa setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu dikuasai dengan kekutan
senjata, bukanlah hal yang mustahil. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbat
memang membayangkan adanya kemungkinan tersebut. Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok
juga mengalami perpindahan mungkin juga berhubungan dengan adanya serangan
musuh. Seperti telah disebutkan, ibu kota kerajaan yang pertama terletak di
Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu
kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh.
Dari sekian banyak bangunan suci yang disebutkan di dalam
prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada satu pun yang dapat dilokalisasikan
dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor dan sekarang
didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada reruntuhan candi. Sebenarnya diharapkan
adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapan diidentifikasikan dengan candi
kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru
untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi hingga kini belum ada
peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap sebagai candi peninggalan
kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan
tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok.
Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru
sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja
ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri
Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari
perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama
Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari Airlangga adalah Udayana
Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya
Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan
seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat
itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi
pada zaman pemerintahan Dyah Balitung(sekitar tahun 890-900-an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama
Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan
cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana.
Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa
dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan demikian, Dharmawangsa
dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak
menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini merupakan
salinan kedalam bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta.
Angka tahun dituliskannya tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di kitab
juga disebutkan nama raja yang
memerintah saat itu yakni Sri Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain
ditemukannya kitab juga ditemukan sebuah prasasti, yakni adalah prasasti
Jayawarsa Dikwijaya Sastra Prabudalam kitab itu
disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan
bahwa dirinya anak cucu sang Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar
Abiseka sebagai Raja Sri Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan
yang terakhir sebuah candi Dharma Parhyangan di Wetan, candi ini merupakan
candi untuk mengenang kematian Darmawangsa Teguh.
Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa
pemerintahan Dharmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya
tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentukan, yaitu prasasti Hara-Hara
tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan
prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi
keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya
dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di sebelah selatan
perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai tempat
menirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya
upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak di
sebelah selatan seluas 3tampah yang telah digadai oleh pungku Susuk Pager dan
Mpungku di Nairanja.
Prasasti Kawambang Kulwan boleh dikatan belum diterbitkan
sebagaimana mestinya.Apa yang terdapat dalam transkipi Brandes sebagian kecil
permulaannya saja, itu pun hanya dibaca satu sisi, sedang prasasti ini ditulis
melingkar. Yang dapat ditangkap ialah bahwa prasasti ini memuat anugerah raja
kepada Samgat Kanuruhan pu Burung bahwwa prasasti sima di Desa Kawambang
Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa
(an padamla parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini berasa dari masa
pemerintahan Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum terbaca; yang ada
ialah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu
Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti
yang dipahat pada batu alam yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem
pu Ghek (atau Lok), dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet.
Rupa-rupanya pohon itu ditanam di tempat permulaan atau akhir jalan yang
diperbaiki itu.Peristiwa ini diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis
dengan huruf kuadrat yang besar-besar.Raja
Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan
kitab Wirataparwa, memerintah dalam dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin
sampai tahun 1017 M. Melihat gelarnya yang mengandung unsur Isana ia jelas
keturunan Pu Sindok secara langsung. Kemungkinan besar ia anak
Makutawangsa-warddhana, jadi saudara Mahendradatta Gunapriya-dharmmapatni. Ia
menggantikan ayahnya duduk diatas takhta kerjaan Mataram, sedang Mahendradatta
kawin dengan Udayana, yang ternyata seorang raja dari Wangsa Warmmadewa di
Bali. Dapat dipahami sepenuhnya mengapa Airlangga menyebut dirinya masih
anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh
Dharmawangsa Teguh memerintah dalam dasawarsa terakhir
abad 10 M dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh memiliki gelar Sri
Isana Dharmawangsa Teguh
Anantawikramottunggadewa (menurut prasati raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabu
dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang disandang mengandung unsur Isana,
jelas bahwa Dharmawangsa Teguh keturunan dari Empu Sendok secara langsung
(Prasati Pacangan). Kemungkinan besar Dharmawangsa Teguh anak dari
Makutawangsawardana, dia juga merupakan saudara dari Mahendradatta Gunapriya
Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan ayahnya dengan duduk di atas tahta
Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawin dengan Udayana yang ternyata
seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di Bali. Jadi pada waktu itu Bali
sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti dengan ditemukannya
prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) pada saat itu
kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa
pernah menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina,
tetapi serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan Sriwijaya,
karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan sebaliknya
untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M.
Pemerintahan Dharmawangsa Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini
terbukti adanya prasasti batu yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang )
di daerah Sumatra Selatan tahun 919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya untuk
yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan
pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah
Maospati. Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas
sumber dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk
meluaskan kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan
ditangan raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari
sangat dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi
putri Dharmawangsa Teguh tidak tercapai, karena Dharmawangsa Teguh menikahkan
putrinya dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh
hancur menjadi abu karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja
Wurawari dan seluruh daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh
ketangan raja Wurawari. Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja
Wurawari cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi
menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan
Dharmawangsa dicandikan di Wwatan, sekarang masih ada di desa Wotan di daerah
kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam masa pemerintahaannya menitik beratkan
pada pola politik luar negrinya. Ketika Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa
sekitar tahun 992 yang hasilnya Sriwijaya kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan
pembalasan atas serangan itu terhadap Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu
oleh raja Wurawari, sehingga mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau
Pralaya.
2.2 Kehidupan Masyarakat
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawaperubahan baru dalam kehidupansosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
berevolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan dari
yang semula sistem barter hingga sistem nilai itu karuang.Sumber−sumber berita
Cina mengungkapkan keadaan masyarakat
Mataram dari abad ke−7 sampai ke−10. Kegiatan
perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini
terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataa ini dikuatkan lagi dengan
berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperolehin formasi adanya
sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang
berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang
tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka
itu adalah parasaudagar dariluar negeri.Namun, sumber−sumber local tidak
memperinci lebih lanjut tentang orang−orang asingini. Kemungkinan besar mereka
adalah kaum migran dari Cina.Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota
kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan
batang kayu. Di dalam istana, berdiam
raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luaristana (masih di dalam
lingkungan dinding kota) terdapat kediaman param pejabat tinggi kerajaan
termasuk putra mahkota beserta
keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di manapara hamba dan
budak yang dipekerjakan di istana juga
tinggl sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai
sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok
kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris
karena pusat Mataram terletak di
pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan
kebanyakan rakyat Mataram. Di sampingitu, penduduk di desa (disebutwanua)
memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, danitik.Sebagai
tenagakerja, merekajugaberdagang
danmenjadi pengrajin.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi
tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diaadakan setiap hari
melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurutka lender Jawa Kuno.
Pada hari Kliwon, pasardiadakan di pusatkota. Pada har I Mani satau legi, pasar
diadakan di desabagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa
sebelah selatan.Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Padahari
Wage, pasar diadakan di desasebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat
perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka
datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil
membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk
dibarterdengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga
juga sudah berkembang. Beberapa hasil industry ini antara lain anyaman seperti
keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula, kelapa,
arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di
pasar−pasar tadi.Sementaraitu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer
atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak
memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian
dibukamenjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi
penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu
(kepaladesa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah
dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahibuntuk di jadikan asrama sebagai
tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi
atau wihara.
2.2.1
Aspek
Kehidupan Ekonomi
Rakyat Mataram menggantungkan kehidupannya pada hasil
pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain
yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya.Usaha untuk
meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi,
seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil
industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga,
pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur
sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta telurnya
juga di perjualbelikan.Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika
Raja Balitung berkuasa.Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat
perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo
diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui
aliran sungai tersebut.Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai
tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya pengangkutan perdagangan
melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan
kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
2.2.2
Struktur
Birokrasi
Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno raja
(Sri Maharaja) ialah penguasa tertinggi. Dari gelar abhiseka dan puji-pujian
kepada raja di dalam berbagai prasasti dan kitab-kitab susastra Jawa Kuno sejak
raja Airlangga. Dari jaman Mataram Kuno hanya ada dua orang raja yang bergelar
abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayottunggadewa dan Rakai Layang
dyah Tulodong Sri Saijanasanmatanuragatungadewa.Di naskah Ramayana Kakawin yang di dalam bagian yang berisikan uraian
tentang rajadharmma (tugas kewajiban seorang raja), yaitu bagian yang merupakan
ajaran Rama kepada adiknya Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain
ajaranastrabrata, yaitu perilaku yang delapan. Dikatakan bahwa di dalam diri
seorang raja berpadu 8 dewa-dewa, yaitu Indra, Yama, Suryya, Soma, Wayu,
Kuwera, Waruna, dan Agni.
Secara singkat bahwa seorang raja harus berpegang teguh
pada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah
kepada mereka yang berjasa (wnang wigraha anugerah), bijaksana, tidak boleh
sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak-gejolak dikalangan rakyatnya,
berusaha agar rakyatnya senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan
dapat memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta
kekayaannya.Sejak raja Airlangga sampai munculnya Wangsa Rajasa raja-raja
menggunakan gelar abhiseka yang berarti penjelmaan Wisnu, hal itu berlandaskan
konsepsi kosmologis. Konsepsi ini dipergunaka oleh nenek moyang kita untuk
membenarkan fakta sejarah tentang tergulingkannya seorang maharaja oleh raja
bawahannya.
Contoh tentang digulingkannya seorang maharaja oleh
seorang penguasa daerah atau oleh maharaja dari mandala yang lain, ialah perang
saudara, atau perang perebutan kekuasaan di antara para pangeran, yang
disebabkan karena raja di jaman dulu, disamping parameswari banyak yang dapat
memberikan anak laki-laki kepada raja. Perang saudara dan perebutan kekuasaan
di antara para pangeran itu terjadi pada masa sesudah Rakai Kayuwangi pu
Lokapala sampai ke masa pemerintahan Pu Sindok, dan pada masa sesudah raja
Airlangga.Sebenarnya telah ada ketentuan mengenai hal waris atas takhta
kerajaan, yaitu bahwa ya ng pertama-tama berhak untuk menggantikan duduk di
atas takhta kerajaan ialah anak-anak raja yang lahir dari parameswari.
Di dalam prasasti-prasasti dari jaman pemerintahan Rakai
Kayuwangi dan Rakai Watukura dijumpai seorang pejabat yang kedudukannya
setingkat dengan para putra raja itu, yaitu pamgat tiruan.Gelar pamgat
menunjukkan bahwa ia seorang pejabat keagamaan. Dari prasasti-prasasti dari
masa rajakula Rajasa pamgat tiruan ialah
seorang upapatti atau pejabat kehakiman.Ada satu pejabat yang hingga sekarang
hanya dijumpai di dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur,
yaiturakryan kanuruhan. Gelar kanuruhan ditemukan juga di antara
tulisan-tulisan singkat pada salah satu candi perwara Candi Loro Jonggrang di
Prambanan pada deretan yang sebelah timur.Rakryan kanuruhan mulai tampak
sebagai pejabat dalam hirarki pemerintahan pusat sejak jaman empu sindok. Pada
masa pemerintahan raja Dharmmawangsa Airlangga ia merupakan pejabat yang
terpenting sesudah para putra raja keadaan ini terus berlangsung sepanjang
jaman Kadiri. Dalam jaman ini ia disebut sebagai yang terutama di antara pada
tanda rakryan ring pakirakiran.
Itulah gambaran yang diperoleh dari sumber prasasti
tentang birokrasi ditingkat pusat kerajaan. Raja didampingi oleh para pangeran,
di antaranya putra mahkota, dan seorang pejabat kehakiman. Mereka itu ialah
rakarayan mapati I hino, I halu, I sirikan, I wka, dan pamgat tiruan. Berita
cina yang menyangkut masalah birokrasi di kerajaan Mataram tidak juga banyak
menolong dalam mengungkapkan selengkapnya masalah ini. Berita dari jaman rajakula
T’ang (Hsin-T’ang-shu) mengatakan bahwa ada 32 pejabat tinggi, dan yang pertama
di antara mereka ialah ta-tso-kan-hiung. Berita dari jaman rajakula Sung
mengatakan : tiga orang putra raja bertindak sebagai raja muda, dan ada pejabat
yang bergelar samgat dan empat rakryan, yang bersama-sama menyelenggarakan
Negara sebagaimana para menteri di Cina, mereka itu tidak memperoleh gaji
tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu memperoleh hasil bumi dan barang-barang
lain semacamnya.
Berita yang pertama pernah ditafsirkan sebagai berita
yang khusus berkenaan dengan masa pemerintahan Rakai Watukara Dyah Balitung,
sebab ta-tso-kan-hiung ditafsirkan sebagai Daksa, saudara raja yang gagah
berani.Berita yang kedua lebih terperinci, dan dalam beberapa hal memang sesuai
dengan data epigrafis. Di atas sudah dilihat adanya tiga, bahkan sebenarnya
empat orang putra raja yang duduk dalam hirarki pemerintahan. Tetapi bahwa
selanjutnya ada samgat dan empat rakryan tidaklah sesuai, karena kenyataannya
ada empat samgat dan lima orang rakryan.
Dengan perkataan lain kebanyakan di antara para manilala
drawiya haji itu ialah abdi dalem keraton, yang menikmati kekayaan raja dalam
arti menerima gaji tetap dari perbendaharaan kerajaan. Para pejabat tinggi
kerajaan dan para pangeran yang menduduki jabatan di dalam hirarki pemerintahan
tingkat pusat, baik yang bergelar rakai maupun pamgat, lebih banyak tingkat di
lingkungan ibukota kerajaan. Sayang sekali prasasti-prasasti tidak memberikan
data yang lengkap tentang struktur birokrasi ditingkat watak itu. Lebih
terperinci ialah keterangan mengenai pejabat-pejabat di bawah para penguasa
daerah. Seorang Rakai Patapan misalnya, disebut mempunyai bawahan tuhan ning
nayaka, parujar atau parwuwus, matanda, tuhan ning kalula, tuhan ning lampuran,
tuhan ning mangrakat atau manapal, dan tuhan ning wadia rarai.
2.2.3 Administrasi
Pengadilan
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintahan daerah yang
lain ialah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di dalam
prasasti-prasasti disebut sukha dukha, yang di dalam naskah-naskah hukum
disebut hala hayu, denda-denda itu di dalam prasasti juga disebut drawya haji.
Hal ini tidak perlu mengherankan karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah
hukum menjadi pegangan para hakim itu tentu tidak ditulis di atas logam, karena
akan menjadi berat dan mahal.Beberapa naskah hukum jawa kuno yang sampai kepada
kita diketahui merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain
kitab Purwadhigama, Kuramanawa atau Siwasasana dan Swarajambhu. Menurut
penelitian van Naerssen memang ada petunjuk bahwa naskah-naskah hukum jawa kuno
itu diulis kembali pada waktu kemudian.
Karena dari jaman Mataram tidak ada naskah hukum yang
sampai kepada kita, maka gambaran tentang administrasi kehakiman hanya dapat
disuguhkan di sini berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan
peradilan (Jaya Patra), dan keterangan tentang sukha dukha yang terdapat dalam
prasasti-prasasti yang lain.Perkara yang dipermasalahkan di dalam prasasti
Guntur dan Wurudu Kidul dapat diselesaikan ditingkat watak oleh seorang pamgat.
Sudah kita lihat bahwa yang diperkarakan di dalam prasasti Guntur ialah masalah
hutang piutang. Di dalam surat keputusan itu disebutkan sebagai sebab yang
pertama mengapa Sang Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena ia tidak hadir
di persidangan. Alasan yang serupa juga digunakan terhadap Sang Pamariwa yang
digugat oleh Sang Danadi.
Sebagai alasan yang kedua mengapa Sang Dharmma dikalahkan
perkaranya ialah karena menurut kitab hukum hutang istri yang dibuat tanpa
pengetahuan suaminya, apalagi kalau mereka itu tidak mempunyai anak, tidak
menjadi tanggung jawab si suami. Pasal yang mengatakan demikian tidak terdapat
di dalam naskah hukum yang diterbitkan oleh Jonker, juga tidak ada di dalam bab
VIII dari Manawadharmmasastra. Hal yang diajukan di dalam prasasti Wurudu Kidul
tidak terdapat di dalam naskah hukum yang kita kenal. Mungkin tidak ada naskah
hukum yang mengatur masalah status kewarganegaraan seseorang. Maka dalam hal
ini keputusan diambil berdasarkan kesaksian kaum keluarga Sang Dhanadi dan
penduduk asli yang netral dari beberapa desa di luar desa tempat tinggal Sang
Dhanadi.
Di dalam naskah-naskah hukum memang ada juga dicantumkan
syarat-syarat seorang saksi, antara lain harus orang yang telah berkeluarga,
yang banyak anaknya, penduduk asli, dan orang-orang yang tidak berkepentingan
di dalam perkaranya, baik dari kasta ksatrya, waisya, maupun sudra. Seorang
brahmana tidak dapat dijadikan saksi, demikian pula raja sendiri, para tukang
dan pandai, dan para pendeta yang telah meninggalkan keduniaan.Bahwa pihak yang
tidak hadir dalam persidangan harus dinyatakan kalah perkaranya memang
ditentukan di dalam naskah hukum. Dalam kasus Sang Dharmma melawan Pu Tabwel
sebenarnya ada ketentuan bahwa Sang Dharmma dapat dikenai denda, karena menagih
hutang tetapi tidak mau datang di pengadilan untuk menjelaskan duduk perkaranya
hutang piutang itu. Tetapi ternyata di dalam prasasti Guntur itu tidak ada
disebutkan hukuman bagi Sang Dharmma.
2.2.4 Keadaan Masyarakat
Di samping stratifikasi sosial berdasarkan pembagian
kasta seperti yang ternyata dari berbagai prasasti, ada lagi stratifikasi
sosial berdasarkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat, baik kedudukan di
dalam struktur birokrasi maupun kedudukan sosial berdasarkan kekayaan materil.
Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat jawa kuno bersifat kompleks dan
tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta
brahmana, kasta yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi
tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga ditingkat desa (Wanua), tetapi
dapat juga tidak mempunyai sesuatu jabatan. Ada juga orang dari kasta ksatrya
yang dapat menduduki jabatan keagamaan ditingkat pusat, seperti Sang pamgat
tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu biara. Di
ibukota kerajaan, yang menurut berita-berita Cina dikelilingi oleh dinding,
baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang
juga dikelilingi oleh dinding. Di luar istana, masih di dalam lingkungan
dinding kota, terdapat kediaman putra mahkota (Rake hino), dan tiga orang
adiknya, dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Rumah-rumah mereka itu
terletak di dalam kampung khusus di dalam lingkungan tembok kota, di mana
tinggal para hamba mereka masing-masing.
Di dalam lingkungan tembok kota itu juga tinggal para
pejabat sipil yang lebih rendah, yaitu para manilala drawyah haji yang
jumlahnya mungkin sampai kira-kira tiga ratus orang, bersama-sama dengan
keluarga mereka. Jadi di dalam lingkungan tembok ibukota kerajaan tinggal
kelompok elit dan non elit, dengan raja dan keluarganya mengambil tempat
tersendiri. Menurut berita-berita Cina raja tiap hari mengadakan pertemuan
dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan dan pendeta
penasehat raja. Biasanya raja mengambil keputusan setelah mendengarkan pendapat
dari para pejabat yang hadir sebagai contoh dapat dikemukakan di sini prasasti
Sarwadharma tahun 1191 saka (31 oktober 1269 M). Di dalam prasasti ini diperingati
permohonan rakyat dari desa-desa yang menjadi punpunan Sang Hyang Sarwwadharma
di wilayah Janggala dan Pangjalu agar mereka itu dibebaskan dari ikatan
thanibala, sehingga tidak perlu lagi membayar bermacam-macam pungutan.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari
kebutuhan akan hiburan. Prasasti-prasasti dan relief candi-candi, teritama
Candi Borobudur dan Prambanan, banyak member data tentang bermacam-macam seni
pertunjukan. Tentang pertunjukan wayang di dalam prasasti Wukajana dari masa pemerintahan
Rakai Watukura Dyah Balitung.Pada pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang
orang serta pembacaan ceritera Ramayana ada lagi pertunjukan lawak mamirus dan
mabanol. Pertunjukan lawak hampir dijumpai di semua prasasti yang menyebut
upacara penetapan sima secara terperinci.Tarian-tarian juga sering
dipertunjukan pada upacara penetapan sima. Ada tari-tarian yang dapat ditarikan
bersama oleh laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan pemuda-pemudi, dan
ada juga tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Ada
juga tari topeng (matapukan). Tarian itu biasanya diiringi dengan gamelan.
Ternyata prasati dan relief candi menampilkan jenis alat gamelan yang terbatas,
anatra lain semacam gendang (padahi) kecer atau simbal (regang), semacam
gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi(wina), seruling dan gong.
Adanya berbagai macam tarian yang diiringi oleh gamelan
yang terbatas itu dijumpai di relief Candi Prambanan dan Borobudur. Diantaranya
kita dapat melihat tarian perang, seorang wanita menari sendiri, adegan yang
menggambarkan semacam reog di Jawa Barat, dan lain-lain. Adegan wanita yang
menari sendiri diikuti oleh beberapa orang laki-laki yangbertepuk tangan
mengingatkan kita pada keterangan di dalam prasasti Poh yang menyebut rara
mabhramana tinonton mwang were werehnya (gadis yang berkeliling untuk ditonton
dengan orang laki-laki), mungkin semacam teledek yang ngamen berkeliling dari
desa ke desa yang lain.Berbagai macam tontonan itu tentu saja ridak hanya
dipertunjukkan pada waktu ada upacara penetapan sima. Ada dalang, penabuh
gamelan, penari dan pelawak professional, yang memperoleh sumber penghasilan
dari profesinya tersebut. Seperti telah dikatakan di atas bahwa para seniman
itu masuk ke dalam kelompok wargga kilalan.
2.3 Penyebab Keruntuhan Kerajaaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar.
Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan,
sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di
Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak
terdapatnya pelabuhan strategis.Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai
selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan
daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan
sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa
timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai
pusat kerajaan. Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa
berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya
yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai
dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa
Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya
putra Teguh Dharmawangsa.
BAB III
METODELOGI PENULISAN
3.1 Jenis dan Sumber
Data
3.1.1. Jenis Data
a. Data
Kualitatif
Data yang diambil dari sumber internet dan buku sejarah yang berbentuk data huruf atau abjad.
3.1.2. Sumber
Data
a. Data
Primer
Data yang diperoleh dari sumber internet (http://reyprakoso15.blogspot.com/)
dan buku sejarah.
b. Data
Sekunder
Data yang diperoleh dari bimbingan guru sejarah., internet
dan buku sejarah.
3.2 Teknik
Pengumpulan Data
3.2.1.
Interview
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan
narasumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tema.
3.2.2.
Kepustakaan
Data-data yang diperoleh dari sumber internet yang berkaitan
dengan tema makalah.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara umum
kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah
berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa
Isyana.Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa,
yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa
Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang
raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya
tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentuka, yaitu prasasti Hara-Hara
tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan
prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M).Usaha untuk meningkatkan dan
mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih
pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat
perkakas dari besi dan tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang
anyaman, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi,
kambing, itik, dan ayam serta telurnya juga di perjualbelika
4.2 Saran
Sebaiknya kita
sebagai generasi muda perlu mengetahui dan mempelajari sejarah-sejarah yang
ada, agar kita dapat mempertahankan budaya dan mengingat leluhur kita dan untuk
menanamkan rasa cinta kepada
perjuangan bangsa dalam rangka memberikan dasar bagi pembentukan Kepribadian
Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar