Rabu, 03 September 2014

Makalah Dinasti Warmadewa


























BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang
Ilmu sejarah sangat banyak kita temui, apalagi saat ini dengan kemajuan teknologi di internet kita dapat mengetahui berbagai hal tentang ilmu sejarah. Sejarah bukan saja dapat memberikan dorongan solidaritas tetapi lebih jauh dari pada itu, juga dapat menumbuhkan kekompakan dan semangat juang yang meningkat dalam mensukseskan pembangunan dengan rasa nasionalisme dijiwai generasi muda khususnya mengukuhkan kehidupan Kebudayaan Bali.
Sejarah pada hakikatnya memaparkan suatu kisah, yang memberikan citra kepada pembaca atau pelajar tentang kehidupan dan perkembangan suatu bangsa di masa lampau. Sejarah Bali melukiskan kisah kehidupan dan perkembangan masyarakat Bali, yang merupakan bagian terpadu dari Sejarah Nasional Indonesia. Kehidupan masyarakat Bali Dewasa ini yang termasyur karena hasil-hasil kebudayaannya, sesungguhnya adalah suatu hasil perkembangan sejarahnya sendiri sejak dahulu kala.
Sejarah patut di pelajari untuk membentuk dan mengisi kepribadian bangsa serta untuk memahami masa lampau sebagai landasan perilaku kita masa kini dan menetapkan arah kemasa depan di atas kepribadian sendiri. Masa lampau, masa kini dan masa depan masyarakat kita adalah suatu rangkaian peristiwa sejarah yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

1.2    Rumusan Masalah
Bagaiman sistem pemerintahan Dinasti Warmadewa ?
Agama dan Kepercayaan apa yang dianut oleh Dinasti Warmadewa ?




1.3  Tujuan dan Manfaat
            1.3.1  Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui Dinasti Warmadewa di Bali,agar generasi muda bisa lebih memahami nilai keluhuran kehidupan nenek moyang khususnya Dinasti Warmadewa
 Untuk mendapatkan pengetahuan sejarah yang lebih mendekati kebenaran sehingga generasi muda bisa memahami nilai-nilai luhur nenek moyang, sehingga kehidupan bangsa semakin kuat dan kukuh.
            1.3.2   Manfaat Penulisan
 Sebagai penanaman rasa cinta Tanah Air dan Bangsa serta menumbuhkan kehidupan kebudayaan bangsa kita yang telah memiliki nilai luhur dan tinggi,disamping itu juga agar kita bisa memperluas perbendaharaan peristiwa sejarah khususnya pengetahuan Dinasti Warmadewa di Bali.

 1.4  Ruang Lingkup Masalah
            Karena keterbatasan data yang bisa dipakai untuk mengungkapkan keberadaan Dinasti Warmadewa di Bali, sehingga makalah ini bisa mengungkapkan berdasarkan benda arkiologi ( data-data sejarah ) yang dapat ditemukan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Dinasti Warmadewa
Dinasti (wangsa) Warmadewa adalah keluarga bangsawan yang pernah berkuasa di Pulau Bali.
Pendiri Dinasti ini adalah Sri Kesari Warmadewa, menurut riwayat lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya disebut-sebut dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai Raja Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti ini, Sri Kesari adalah penganut Budha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah Bali. Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.
Salah satu Dinasti kerajaan yang terbesar di Kepulauan Nusantara dan semenanjung Asia Tenggara adalah Dinasti Warman atau Warmadewa. Warmadewa berasal dari bahasa Sansekerta secara umum berarti berarti Dewa Pelindung atau Dilindungi Dewa. Raja-Raja dari Dinasti Warmadewa ini awalnya berasal dari India (kerajaan Pallawa) 3, muncul kemudian menyebar ke Nusantara dan ke wilayah Asia Tenggara sejak abad ke-5 Masehi, mendirikan dan menguasai banyak kerajaan, seperti Kaundhiya, pengikut ajaran Maharsi Agastya, mendirikan Dinasti Warmadewa di Funan (Kamboja sekarang), kemudian kerabatnya yang lainnya bernama Kudungga, pada periode yang sama mendirikan Dinasti Warmadewa di Kerajaan Kutai atau Poli di Kalimantan Timur.
Kemudian juga muncul kerajaan Chenla (Angkor) di Kamboja dan kerajaan Champa (Lin-yi) di Vietnam 2. Demikian pula di Sumatra, timbul kerajaan Kuntala, Malayu (Suarnabhumi) dan Sriwijaya, Raja-Raja mereka awalnya diyakini berasal dari India serta dengan nama Rajakula Warmadewa pula. Selanjutnya di Jawa Barat, muncul kerajaan Salakanegara dan Tarumanegara, dengan Raja berwangsa Warmadewa pula, di Jawa Tengah berdiri kerajaan Kalingga (Keling atau Holing) dan Mataram, Raja-Raja awalnya berasal dari India, dimana ada Raja berwangsa Warmadewa dan ada pula berwangsa Sanjaya .
Pada saat berikutnya, kerajaan Sriwijaya berekspansi menguasai pantai utara Jawa dan Bali, mendirikan wangsa Sailendra di Jawa Tengah dan kerajaan Singhadwara di Bali. Jadi leluhur Raja-Raja Dinasti Warmadewa diyakini berasal dari India, sehingga berdasarkan berita dari I-Tsing, pada tahun 695 M, adat tradisi di semua negara tadi hampir serupa, karena mereka menganut agama dan kebudayaan yang hampir sama berasal dari India. Mengapa mereka yaitu kaum Shaka, Pallawa dan Yawana menyebar meninggalkan India? Ini disebabkan pada awal tarikh masehi kaum Kushan (Mongol) menDesak mereka ke India bagian selatan (wilayah Tondaiman dalam,sebelah barat Madeas), dimana para pewaris mereka mendirikan kerajaan Pallawa. Kemudian pada abad ke-4, Samudra Gupta(335-375) menaklukkan kerajaan Pallawa, yang mana penaklukkan ini menyebabkan banyak vassal Raja Pallawa pergi meninggalkan India menuju Funan , Kutai, Sumatra dan Jawa.
Sejak itu, kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Dinasti Warmadewa dilihat dari asal usulnya merupakan campuran dari bangsa Yunani (Yawana), Persia (Pallawa) dan Shaka. Konon , berdasarkan Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang tahun 1612, Dinasti Warmadewa merupakan keturunan dari Raja Makedonia-Yunani, Alexander Yang Agung (Iskandar Zulkarnaen) yang pernah menguasai India pada abad IV SM. Kemudian diceritakan, ada keturunan Beliau datang ke Sumatera dan menjadi cikal bakal Dinasti Warmadewa bermula di Bukit Siguntang ,Palembang. Beliau adalah Paduka Sri Tri Bhuana yang menjadi pangkal empat jurai Rajakula di Asia Tenggara, yaitu Palembang (Sriwijaya), Majapahit, Semenanjung Malayu dan Minangkabau. Menarik juga untuk dicermati, kata Alexander mempunyai arti pria yang melindungi atau pria yang dilindungi, makna yang sama dengan kata Warmadewa.
Dalem Sri Kesari pendiri Dinasti Warmadewa di Bali. Raja Dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Dalem Sri Kesari Warmadewa [yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha] 1 yang dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari Sriwijaya (Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara (tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan Raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan Raja berwangsa Syailendra (Dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.
Di Bali, Sri Ratu Ugrasena (915-942), Raja kerajaan Singhamandawa (pusat istana di Sukawana, Penulisan, Bangli) yang berkaitan dengan kerajaan Kanuruhan dan Mataram (Sanjayawangsa) bersaing dengan Dalem Sri Kesari Warmadewa yang mulanya beristana di Bhumi Kahuripan Singhadwara (dekat Pura Besakih sekarang) kemudian memindahkan ibukota ke Pejeng. Di dalam Purana Bali Dwipa, diceritakan Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan Raja Mayadanawa yang memerintah di Bali dimana pada masanya melarang upacara Dewa Yajna di Pura Kahyangan seluruh Bali. Oleh Dalem Sri Kesari, pura-pura yang rusak kemudian diperbaiki, setelah itu beliau mengadakan upacara Yajna untuk memuja Tuhan dan menghormati para leluhur dilaksanakan pada hari Budha Kliwon Dunggulan yang kelak disebut hari Galungan atau hari kemenangan. Pulau Bali kemBali menjadi aman dan makmur serta wilayah kekuasaan meliputi Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan.
Rupanya persaingan ini dimenangkan oleh Dinasti Warmadewa, karena sejak tahun 942 tidak ada lagi prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Ratu Ugrasena. Dalem Sri Kesari Warmadewa menyatakan dirinya Raja Adhipati yang berarti dia merupakan penguasa di Bali mewakili kekuasaan Sriwijaya. Kemungkinan beliau adalah keturunan dari BalaputraDewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan nama Dinasti Warmadewa. Berdasarkan prasasti Blanjong di Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring dan prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 9135, beliau berhasil mengalahkan musuh-musuhnya baik di luar pulau maupun di pedalaman Bali. Tapi kemenangan ini mungkin tidak menyeluruh karena di pedalaman wilayah kraton Singhamandawa masih berkuasa Sri Ratu Ugrasena hingga tahun 942.
Persaingan antara dua Dinasti mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui perkawinan atau yang lain, karena setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena, yang menjadi Raja di Bali adalah dari Dinasti Warmadewa yaitu keturunan Dalem Sri Kesari, Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa (955-967), beliau juga bergelar Sri Candrabhaya SinghaWarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa, memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada tahun 960. Semasa pemerintahannya beliau memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madatu, tempat dimakamnya Sang Ratu Ugrasena. Situasi seperti ini sangat mirip dengan situasi di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, dimana ada persaingan kekuasaan sekaligus kerjasama antara dua Dinasti, Sanjaya dan Syailendra. Selanjutnya kekuasaan digantikan oleh putra beliau, Sri Jana Sadhu Warmadewa.
Pada masa beliau ini, konon Bali pada tahun 983 dikuasai oleh Ratu Sri Maha Raja Sriwijaya Mahadewi yang diperkirakan berasal dari kerajaan Sriwijaya. Setelah itu berkuasa Sri Dharma Udayana Warmadewa (989-1011). Beliau lahir sekitar tahun 963. Sebelum menjadi Raja di Bali, beliau pergi ke Jawa Timur, untuk mempersiapkan diri menjadi Raja dengan mendirikan pemandian Jalatunda tahun 987 dan melakukan tapabrata di puncak Gunung Penanggungan. Pada saat pemerintahan Sri Udayana adalah puncak kejayaan Dinasti Warmadewa di Bali, beliau mempersunting putri dari Jawa Timur, Mahendradatta Gunaprya Dharmapatni, putri dari Raja kerajaan Watu Galuh Sri Makuta Wangsa Wardhana. Saudara Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama TunggaDewa, yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Watu Galuh 3,6.
Pada masa pemerintahan beliau berdua, Udayana dan Mahendradatta, datang ke Bali seorang pendeta besar bernama Mpu Kuturan, kakak seperguruan dari Mpu Bharadah, melakukan reformasi terhadap agama Hindu dengan menyatukan sembilan sekte di Bali menjadi Tri Murti dan nama agama disepakati adalah Agama Siwa-Budha. Raja Udayana memiliki 3 orang putra, yang pertama adalah Sri Airlangga,lahir tahun 1000 yang kelak menjadi Raja Kahuripan,yang kedua, Sri Wardhana Marakata Pangaja TungaDewa (1011-1049), menjadi Raja menggantikan ayahandanya, dan yang ketiga Sri Anak Wungsu, yang naik tahta menggantikan kakaknya (1049-1079). Setelah wafat, kekuasaan dipegang oleh Sri Maha Raja Sri Walaprabhu. Setelah itu sejak tahun 1088, kekuasaan dijalankan oleh putri Sri Anak Wungsu yaitu Ratu Sakalindhu Kirana (1088-1101), dengan gelar Paduka Sri Maha Raja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utunggadewi atau Paduka Sri Maha Raja Gon Karunia Pwa Swabhawa Paduka Sri Saksatnira Harimurti Jagatpalaka Nityasa., beliau merupakan Raja putri yang pertama di Bali. Kemudian dari istri yang lain, dua putera yaitu, Sri Suradhipa, menjadi Raja pada tahun 1101-1119, dilanjutkan oleh sang adik yaitu Sri Jayasakti (1119-1150).
Sebelum Sri Jayapangus berkuasa, yang menjadi Raja di Bali adalah Hari Prabhu. Hari Prabhu yang juga dikenal dengan nama Ragajaya berkuasa selama 27 tahun. Sri Jayapangus berkuasa mulai sekitar tahun 1177 sampai tahun 1181. Sri Jayapangus digantikan oleh Sri Maha Raja Sri Arya Dingjaya Katana (1181-1200), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Raja Aji Ekalayalancana (1200-1204). Kemudian, yang menjadi Raja adalah Batara Guru Aji Kunti Kontana, yang memiliki dua anak (kembar) putra dan putri, yang putra bernama Sri DhanadiRaja Lancana dan yang putri bernama Sri Dhanadewi Ketu, keduanya dinikahkan dan kelak dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Mahasora Mahasori atau Mahewara Maherswari atau Sri Masula-Masuli. Selanjutnya yang menjadi Raja adalah Sri Hyang Ninghyang AdiDewa Lancana (1260-1286), kekuasaannya berakhir setelah Bali ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari dengan Rajanya bernama Sri Kertanegara, yang kemudian menugaskan Patih Kebo Parud menjadi pelaksana kekuasaan di Bali.
Setelah kerajaan Singhasari dihancurkan oleh Jayakatwang, Raja Gelang-Gelang, Kediri, maka kekuasaan di Bali dipegang oleh Sri Mahaguru Dharma Hutungga Warmadewa, kerajaannya disebut Bata Anyar, berkuasa hingga 1328 . Setelah itu, beliau digantikan putranya yaitu Sri Tarunajaya atau Sri Walajaya Kertaningrat yang berkuasa hingga tahun 1337. Sesudah itu yang menjadi penguasa di Bali adalah Sri Tapolung yang bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten (1337-1343). Beliau disebut juga Dalem Sri Bedahulu , adalah Raja Dinasti Warmadewa terakhir yang berkuasa di Bali, karena sejak tahun 1343, Bali ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit, dimana prajurit Majapahit yang menyerang Bali berada di bawah pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.



Adapun Dinasti yang dimaksudkan diantaranya:
1.      Raja Sri Ugra Sena
2.      Raja Sri Kesari Warmadewa
3.      Raja Candrabhayasinga Warmadewa
4.      Raja Dharma Udayana Warmadewa
5.      Raja Marakata
6.      Raja Anak Wungsu
7.      Sri Maha Raja Seri Walaprabu
8.      Sri Maha Raja Sri Sukalendukirana
9.      Sri Suradhipa
10.  Sri Jayasakti
11.  Raja Jayapangus
12.  Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
                                                                                        
2.2 Nama Raja-Raja Dinasti Warmadewa
2.2.1 Ratu Sri Ugra Sena
Berdasarkan bukti 9 buah Prasasti yang sudah ditemukan beliau memerintah pada tahun 915-942 masehi, sedangkan di Jawa Timur yang memerintah adalah Raja Sindok tahun 929-947 Masehi.
 2.2.2 Raja Sri Kesari Warmadewa
Setelah  Raja Sri Kesari Warmadewa berpusat Singhamandawa diketahui di Bali memerintah Raja Kula Warmadewa. Di dalan kitab kuna yang bernama Raja Purana tersebut seorang Raja di Bali yang bernama Sri Wira Dalem Kesari. Dikatakan beliau mendirikan istana disekitar Pura Besakih. Baginda amat tekun beribadah memuja Dewa-Dewa yang berkhayangan di Gunung Agung.Tempat pemujaan disebut pemujaan Selonding.Beliau memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yang ketika itu masih sangat sederhana, untuk memperlengkapinya maka didirikanlah beberapa buah Pura di sekitar Pura Panataran Agung, dengan diberi nama masing-masing , sebagai berikut:
1.      Pura Gelap untuk memuja Dewa Iswara.
2.      Pura Kiduling Kreteg untuk memuja Dewa Brahma.
3.      Pura Ulun Kulkul untuk memuja Dewa MahaDewa.
4.      Pura Batu Madeg untuk memuja Wisnu.
5.      Pura Dalem Puri untuk memuja Dewi Durga.
6.      Pura Basukian untuk memuja Naga Basukian.
  Selanjutnya dikatakan beliau juga memerintahkan agar perayaan Nyepi tiap-tiap  tahun harus dilakukan pada bulan kasanga yang disebut caitra-masa. Sehubungan dengan uraian diatas yang bersifat tradisional, ditemukanlah di Pura Blanjong yang terletak diDesa Sanur Kabupaten Badung sebuah prasasti yang lajim disebut Prasasti Blanjong yang berasal dari dua buah kata yakni belahan dan jong atau jung. Belah berarti pecah dan jong berarti perahu. Prasati itu ditatahkan pada sebuah batu monolit, yang kedua  belah sisinya terdapat tulisan-tulisan kuna, sebagian mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan itu menyebutka seorang Raja yang bernama Kesari Warmadewa yang bersinggasana di Singhadwala, dalam tulisan-tulisan itu bilangan tahun isaka dengan mempergunakan candrasangkala (angka tahun dalam bentuk kalimat), yang berbunyi Khecara Wahni Murti. Khecara berarti lima, Wahni berarti tiga dan Murti berarti delapan. Jadi candrasangkala menunjukkan angka tahun Isaka 835 (913 Masehi).
2.2.3    Raja Candrabhayasinga Warmadewa
Mengenai Raja ini hanya ditemukan baru sebuah Prasasti Batu, yang keadaannya sangat rusak. Prasasti itu disimpan di Pura Sakenan Desa Manukaya sebelah utara Desa Tampaksiring berangka tahun 960 Masehi. Isinya menyebutkan peristiwa pembuatan tirta di Air Hampul (Tirta Empul sekarang) di Desa Manuk raya (sekarang Desa Manukaya). Sampai sekarang tirta itu dipandang suci dan prasasti batu yang tersimpan di Pura Sakenan sewaktu-waktu disucikan di Tirta Empul. Demikian juga pada hari raya Galungan banyak barong dari Kabupaten Gianyar di sucikan di Tirta Empul.
2.2.4 Raja Dharma Udayana Warmadewa
Raja ini merupakan keturunan Raja Sri Kesari Warmadewa yang dilahirkan di Bali sekitar tahun 963 Masehi, kemudian kawin dengan putri Mahendradatta dari Jawa Timur sebagai cucu Raja Empu Sindok. Kedua Raja putrid ini mulai menaiki tahta kerajaan kira-kira tahun 989-1001 Masehi.
Perkawina baginda putrid Gunapria Dharmapatni dengan baginda Raja Dharma Udayana ternyata banyak membawa perubahan di Bali. Perubahan itu terjadi dalam struktur pemerintahan kemudian berpengaruh pula di bidang kebudayaan. Semenjak itu mulailah dipergunakan bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) dalam pembuatan-pembuatan prasasti  yang sebelumnya menggunakan bahasa Bali Kuna.
Dari perkawinan Dharma Udayana dengan Gunapria lahirlah beberapa orang putra di antaranya Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Airlangga di lahirkan di pulau Bali pada tahun 922 Saka atau 1000 Masehi. Ia kemudian pergi ke Jawa Timur untuk menikah dengan Putri Dharmawangsa yang mungkin masih keponakan ibunya. Ketika Airlangga berumur kira-kira 16 tahun.  Kerajaan Dharmawangsa yang merayakan perkawinan putrinya denga  Airlangga, tiba-tiba diserang Raja Haji Wurawuri . seluruh keratin musnah terbakar, sedangkan Dharmawangsa di bunuh. Airlangga melarikan diri dan berdiam di hutan-hutan. Baru pada tahun 1041 ia dinobatkan menjadi Raja di Jawa Timur. Ia berhasil menyatukan kerajaan Dharmawangsa pada tahun 1037 Masehi, pada waktu itu ia juga membuat sebuah wihara di Pucangan. Pada tahun 1042 Airlangga mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan menjadi pertapa, sampai ia mangkat pada tahun 1049. Agar anak-anaknya tidak saling berebutan kekuasaan, Airlangga mengirim Empu Bharadah ke Bali untuk meminta daerah itu untuk diberikan salah seorang putranya.Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh Empu Kuturan, yang rupa- rupanya sudah mempunyai calon untuk menempati tahta kerajaan Bali.
Setelah mangkat Gunapriya dicandikan di Pura Bukit Dharma Kutri Desa Buruan Balu dalam wujud yang menggambarkan arca Durgamahisasuramardini. Sedangkan Raja Udayana  setelah  wafat dicandikani Banu-wka. Di mana letak Banu-wka ini, hingga kini belum diketahui dengan jelas. Tetapi menurut Dr. R. Goris terletak di Candi Gunung Kawi yang terdapat di Desa Tampak Siring.
Anggota penasehat Raja suami istri di antara sekian banyaknya tersebutlah senapati Kuturan, namanya sering di sebut dalam prasasti yang masih disimpan di beberapa Desa di Bali. Baginda suami istri sengaja mengundang senapati Kuturan untuk menertibkan kemasyarakatan penduduk di Bali, tambahan pula pada waktu itu sudah tiba saatnya bagi senapati untuk menjalankan bhiksuka atau saniyasa, yakni hidup mengembara guna mengamalkan dharma selaku guru agama.
Untuk menerbitkan dan menegakkan sendi-sendi agama/kemasyarakatan di Bali, senapati segera mengadakan  pertemuan besar dihadiri oleh para pemuka masyarakat serta pendeta Siwa dan Budha. Dalam pertemuan itu di putuskan bahwa paham Tri Murti harus di tegakkan kemBali.

Maka sejak itu terciptalah pura Kahyangan Tiga, yakni tiga buah pura yang masing-masing disebut :
a.    Pura Desa, yang disebut juga pura Balai Agung untuk memuja kebesaran Dewa Brahma sebagai pencipta.
b.   Pura Puseh, untuk memuja Dewa Wisnu sebagai pemelihara.
c.    Pura Dalem untuk memuja Dewi Durga sakti Dewa Siwa sebagai pemralina.
             Pura Khayangan tiga tersebut didirikan pada tiap-tiap Desa di Bali, inilah yang menjadi dasar kekuatan Desa Pakraman di Bali yang berintikan pada adat istiadat dan agama.
              Disamping mengatur bidang keagamaan Empu Kuturan juga banyak mengarang kitab-kitab suci diantaranya beberapa yang terkenal seperti : Purana Tattwa, Desa Tattwa memuat pelajaran bagaimana cara memuja Dewa-Dewa.Juga kitab suci Kusuma Dewa yang mula-mula dikarang oleh Sang Kul Putih , kemudian disempurnakan lagi oleh Empu Kuturan.
                
2.2.5       Raja Marakata
Setelah Raja  Dharma Udayana wafat beliau digantikan oleh putranya Marakata saudara muda dari Airlangga. Dalam prasasti nama lengkapnya adalah Darmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana UttunggaDewa. Raja oleh rakyatnya dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu melindungi nasip rakyatnya. Ia selalu memperhatikan rakyatnya dimana-mana.
2.2.6    Raja Anak Wungsu
Raja ini menggantikan Raja Marakata dan merupakan putra bungsu dari Raja Dharma Udayana. Di antara Raja-Raja Bali kuna, anak wungsu boleh dikatakan Raja yang paling aktif atau mengabadikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada zamannya. Tidak kurang dari 28 buah prasasti dari Raja Anak Wungsu berhasil ditemukan, ditambah lagi dengan beberapa prasasti singkat lainnya yang terdapat di Gunung Kawi, Gunung Penulisan. Ia memerintah dari tahun 1049 Masehi sampai 1077 Masehi. Didalam prasasti ia disebut sebagai seorang Raja yang penuh belas kasihan dan dianggap sebagai penjelma Dewa Kebaikan.
Anak wungsu memerintah selama 28 tahun,  masa pemerintahan cukup lama bila dibandingkan dengan Raja-Raja Bali Kuna lainnya. Hal ini dapat terjadi bila keadaan agama aman tentram. Prasasti dari Raja ini terbesar di daerah Bali Selatan, Tengah dan Utara. Setelah Raja wafat di candikan di candi Gunung Kawi Desa Tampaksiring.
2.2.7 Sri Maha Raja Sri Walaprabu
Raja ini memerintah setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu. Meninggal tiga buah prasasti yang sampai kepada kita, dan tidak satupun prasasti itu berangka tahun. Menurut Damais prasasti itu di duga berasal dari antara tahun 1001 Saka sampai dengan 1010 Saka.
2.2.8    Sri Maha Raja Sri Sukalendukirana
Dari Raja ini kita hanya memperoleh dua buah prasasti, yang sebuah berangka tahun 102 S , sedangkan yang lain berangka tahun 1023 S.
2.2.9 Sri Suradhipa
Ia memerintah dari tahun 1037 S, sampai 1041 S.

2.2.10  Sri  Jayasakti
           Raja ini meninggalkan prasasti sebanyak 15 buah. Prasasti yang ke 14 dan 15 ditemukan di Desa Asahduren dan Banjar Gambang. Pada waktu Raja Jayasakti memerintah di Bali yang memerintah di Jawa pada waktu itu adalah Raja Jayabhaya. Sejak zaman Raja ini mulailah di Bali memerintah beberapa orang Raja yang menggunakan unsur nama Jaya (kemenangan) seperti halnya Raja Jayabhaya di Kediri. Raja Jayasakti memerintah kurang lebih 1133 M sampai 1150 M.
2.2.11 Raja Jayapangus
Jumlah prasasti yang sudah ditemukan atas nama Raja ini sebanyak 39 buah. Tetapi yang mengherankan bahwa hampir semua prasastinya dikeluarkan pada tahun yang sama yaitu 1181 Masehi, satu-satunya yang berbeda adalah prasasti yang sekarang tersimpan di Desa Mantri (Gianyar)
(  Manting A ) dan berangka tahun 1177 Masehi.
2.2.12     Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
Pada tahun 1337 Masehi dinobatkan Seorang Raja di Bali yang bergelar Astasura Ratna Bhumi Banten, Perkataan Bhumi Banten menunjukkan daerah dimana beliau memerintah sedangkan Banten diduga sama dengan Bali. Jadi di pulau Balilah Raja Astasura Bhumi ini bertahta. Sebuah arca yang terdapat di pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan adalah melambangkan Raja Astasura ketika berkuasa di Bali. Arca batu padas itu pada bagian punggungnya memuat goresan yang berbunyi: Mata, kapak, segara atau gunung yang merupakan tahun candrasangkala Isaka 1254 (tahun 1332 Masehi),merupakan Raja Bali Kuna yang terakhir.
Sehubungan dengan Raja Astasura ini selanjutnya kitab Kuna yang bernama “Usana Jawa” menerangkan bahwa Raja Astasura juga bergelar Gajah Waktra atau Sri Tapolung serta beristana di Bedahulu. Adapun kisahnya lebih jauh disebutkan bahwa Baginda mempunyai dua orang patih yang ulung masing-masing bernama Pasung Grigis dan Kebo Iwa. Pasung Grigis bertempat tinggal di Desa Tangkulak. Terkenal keperwiraannya berperang, mahir didalam siasat pertempuaran disamping ahli dalam soal pemerintahan. Sedangkan Kebo Iwa bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan mahir dalam bidang seni bangunan dan rakyat kagum atas kekuatannya sebab itu Ia disebut juga Kebo Taruna (Taruna berarti membujang).


BAB III
HASIL PEMBAHASAN

4.1  Sistem Pemerintahan Dinasti Warmadewa
       Untuk mengetahui susunan pemerintah pada masa lampau di Bali kita mengalami banyak kesulitan karena tidak semua Raja yang pernah memerintah di Bali meninggalkan keterangan – keterangan yang dapat dipakai untuk menyusun susunan pemerintahan pada masa itu. Diantara Raja – Raja Bali yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu yaitu Raja Udayana, Jaya Pangus, Jaya Sakti, dan Anak Wungsu.
            Dalam mengendalikan pemerintahan Raja dibantu oleh suatu Badan Penasehat Pusat. Dalam prasasti tertua 882 Masehi – 914 Masehi badan ini disebut dengan istilah “panglapuan”. Sejak masa pemerintahan Udayana Badan Penasihat Pusat itu di sebut dengan istilah “pikiran-pikiran I jro makabaihan”. Badan ini beranggotakan :

a. Beberapa orang senapati, menurut Dr. Goris para senapati pada masa lampau dapat dibandingkan dengan para punggawa pada zaman Kerajaan Gelgel. Jumlah senapati biasanya 3 orang.
 b. Pendeta Siwa dan Budha.
Golongan ini mempunyai arti sangat penting didalam penyelesaian upacara-upacara agama, tetapi mereka itu dianggap juga mempunyai Raja. Sampai sekarang di Bali masih dikenal pendeta istana yang disebut bagawanta. Didalam prasasti-prasasti golongan pendeta agama Siwa disebut dengan gelar Dang Acarya, golongan pendeta agama Budha dengan gelar Dang Upadhyaya.
.

   4 .2 Agama dan Keperjayaan Yang Dianut
         Dalam bidang agama pengaruh zaman prasejarah terutama dari zaman megalitikum (zaman batu besar) masih terasa kuat kepercayaan pada zaman itu dititik beratkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut Teras Piramid atau bangunan berundang-undang. Kadang-kadang diatas bangunan teras piramid ditempatkan menhir yaitu tiang batu monolit sebagai symbol roh nenek moyang merek.
          Pada zaman Hindu hal itu terlihat pada bangunan Pura yang mirip dengan bangunan pundan berundak-undak. Kepercayaan kepada Dewa-Dewa gunung, laut, dan lain-lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya agama hindu, tetap tercemin didalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Bahkan sampai sekarang benda – benda dari zaman budaya megalitikum masih disimpan dan dipuja bersama – sama dengan patung – patung agama Siwa dan Budha. Keadaan ini membuktikan bahwa masyarakat Bali sekarang tidak mudah melepaskan hasil – hasil budaya dari zaman sebelum hindu. Kedua unsure budaya ini berpadu dengan sangat harmonis. Hanya kadang – kadang Dewa tertentu berubah namanya dengan nama baru yang diambil dari bahasa Sansekerta seperti bathara da-tonta (bathara, berasal dari bahasa sansekerta).
        Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sriwijaya Mahadewi, tidak diketahui dengan pasti agama apa yang dianut pada masa itu. Hanya dari nama – nama biksu yang memakai unsur nama siwa sebagai contoh biksu piwakangsita, siwa, biksu siwanirmala dan biksu siwaprajna, siwarudra dan lain – lain. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa.
        Baru pada masa pemerintahan Raja udayana dan permaisurinya gunapria ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk ialah agama siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti – prasastinya, dimana disebutkan adanya mpungku Sewasogata (siwa-Budha) sebagai pembantu Raja.
        Dalam kenyataan nya jumlah para pendeta agama siwa lebih banyak bila dibandingkan dengan para pendeta agama Budha. Hal ini mungkin dapat disimpulkan bahwa agama siwa lebih besar pengaruhnya dan penganutnya daripada agama Budha.
        Meskipun sebagian besar penduduk pada masa itu menganut agama siwa dan Budha, tetapi sekte – sekte kecil yang menyembah Dewa – Dewa tertentu pasti ada juga seperti misalnya Sekte Ganapatya (penyembah Gana), Sora (penyembah Surya) dan sebagainya. Perkiraan ini berdasarkan kenyataan bahwa banyak sekali arca ganesha yang ditemukan di Bali antara lain digunung penulisan, pura penataran sasih pejeng, pura pusering jagat dan lain – lain. Selanjutnya pemujaan kepada surya (Suryasewana) secara singkat dapat dikatakan bahwa tersebut masih tercermin hingga sekarang diBali berupa kebaktian kepada siwaditya oleh golongan brahmana – siddhanta.

BAB IV
METODELOGI PENULISAN

3.1  Jenis dan Sumber Data
     3.1.1. Jenis Data
            a. Data Kualitatif
Data yang diambil dari sumber internet dan buku sejarah  yang berbentuk data huruf atau abjad.
     3.1.2. Sumber Data
            a. Data Primer
Data yang diperoleh dari sumber internet (http://reyprakoso15.blogspot.com/) dan buku sejarah.
            b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari bimbingan guru sejarah., internet dan buku sejarah.



3.2  Teknik Pengumpulan Data
            3.2.1. Interview
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan narasumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tema.
            3.2.2. Kepustakaan
Data-data yang diperoleh dari sumber internet yang berkaitan dengan tema makalah.

  

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1  Kesimpulan
        Dari rumusan masalah diatas kami menarik kesimpulan bahwa sejarah yang menceritakan tentang Dinasti Warmadewa perlu di pelajari oleh generasi muda untuk mengingat leluhur kita pada saat masa Dinasti Warmadewa, sehingga arah kehidupan bangsa menjadi kukuh dan kuat. Selain itu sejarah patut dipelajari untuk membentuk dan mengisi kepribadian bangsa serta untuk memahami masa lampau sebagai landasan perilaku kita masa kini dan menetapkan arah ke masa depan diatas kepribadian sendiri.

5.2  Saran
     Sebaiknya kita sebagai generasi muda perlu mengetahui dan mempelajari sejarah-sejarah yang ada, agar kita dapat mempertahankan budaya dan mengingat leluhur kita dan untuk menanamkan           rasa cinta kepada perjuangan bangsa dalam rangka memberikan dasar bagi pembentukan Kepribadian Bangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar