Rabu, 03 September 2014

Makalah Dinasti Warmadewa


























BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang
Ilmu sejarah sangat banyak kita temui, apalagi saat ini dengan kemajuan teknologi di internet kita dapat mengetahui berbagai hal tentang ilmu sejarah. Sejarah bukan saja dapat memberikan dorongan solidaritas tetapi lebih jauh dari pada itu, juga dapat menumbuhkan kekompakan dan semangat juang yang meningkat dalam mensukseskan pembangunan dengan rasa nasionalisme dijiwai generasi muda khususnya mengukuhkan kehidupan Kebudayaan Bali.
Sejarah pada hakikatnya memaparkan suatu kisah, yang memberikan citra kepada pembaca atau pelajar tentang kehidupan dan perkembangan suatu bangsa di masa lampau. Sejarah Bali melukiskan kisah kehidupan dan perkembangan masyarakat Bali, yang merupakan bagian terpadu dari Sejarah Nasional Indonesia. Kehidupan masyarakat Bali Dewasa ini yang termasyur karena hasil-hasil kebudayaannya, sesungguhnya adalah suatu hasil perkembangan sejarahnya sendiri sejak dahulu kala.
Sejarah patut di pelajari untuk membentuk dan mengisi kepribadian bangsa serta untuk memahami masa lampau sebagai landasan perilaku kita masa kini dan menetapkan arah kemasa depan di atas kepribadian sendiri. Masa lampau, masa kini dan masa depan masyarakat kita adalah suatu rangkaian peristiwa sejarah yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

1.2    Rumusan Masalah
Bagaiman sistem pemerintahan Dinasti Warmadewa ?
Agama dan Kepercayaan apa yang dianut oleh Dinasti Warmadewa ?




1.3  Tujuan dan Manfaat
            1.3.1  Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui Dinasti Warmadewa di Bali,agar generasi muda bisa lebih memahami nilai keluhuran kehidupan nenek moyang khususnya Dinasti Warmadewa
 Untuk mendapatkan pengetahuan sejarah yang lebih mendekati kebenaran sehingga generasi muda bisa memahami nilai-nilai luhur nenek moyang, sehingga kehidupan bangsa semakin kuat dan kukuh.
            1.3.2   Manfaat Penulisan
 Sebagai penanaman rasa cinta Tanah Air dan Bangsa serta menumbuhkan kehidupan kebudayaan bangsa kita yang telah memiliki nilai luhur dan tinggi,disamping itu juga agar kita bisa memperluas perbendaharaan peristiwa sejarah khususnya pengetahuan Dinasti Warmadewa di Bali.

 1.4  Ruang Lingkup Masalah
            Karena keterbatasan data yang bisa dipakai untuk mengungkapkan keberadaan Dinasti Warmadewa di Bali, sehingga makalah ini bisa mengungkapkan berdasarkan benda arkiologi ( data-data sejarah ) yang dapat ditemukan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Dinasti Warmadewa
Dinasti (wangsa) Warmadewa adalah keluarga bangsawan yang pernah berkuasa di Pulau Bali.
Pendiri Dinasti ini adalah Sri Kesari Warmadewa, menurut riwayat lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya disebut-sebut dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai Raja Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti ini, Sri Kesari adalah penganut Budha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah Bali. Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.
Salah satu Dinasti kerajaan yang terbesar di Kepulauan Nusantara dan semenanjung Asia Tenggara adalah Dinasti Warman atau Warmadewa. Warmadewa berasal dari bahasa Sansekerta secara umum berarti berarti Dewa Pelindung atau Dilindungi Dewa. Raja-Raja dari Dinasti Warmadewa ini awalnya berasal dari India (kerajaan Pallawa) 3, muncul kemudian menyebar ke Nusantara dan ke wilayah Asia Tenggara sejak abad ke-5 Masehi, mendirikan dan menguasai banyak kerajaan, seperti Kaundhiya, pengikut ajaran Maharsi Agastya, mendirikan Dinasti Warmadewa di Funan (Kamboja sekarang), kemudian kerabatnya yang lainnya bernama Kudungga, pada periode yang sama mendirikan Dinasti Warmadewa di Kerajaan Kutai atau Poli di Kalimantan Timur.
Kemudian juga muncul kerajaan Chenla (Angkor) di Kamboja dan kerajaan Champa (Lin-yi) di Vietnam 2. Demikian pula di Sumatra, timbul kerajaan Kuntala, Malayu (Suarnabhumi) dan Sriwijaya, Raja-Raja mereka awalnya diyakini berasal dari India serta dengan nama Rajakula Warmadewa pula. Selanjutnya di Jawa Barat, muncul kerajaan Salakanegara dan Tarumanegara, dengan Raja berwangsa Warmadewa pula, di Jawa Tengah berdiri kerajaan Kalingga (Keling atau Holing) dan Mataram, Raja-Raja awalnya berasal dari India, dimana ada Raja berwangsa Warmadewa dan ada pula berwangsa Sanjaya .
Pada saat berikutnya, kerajaan Sriwijaya berekspansi menguasai pantai utara Jawa dan Bali, mendirikan wangsa Sailendra di Jawa Tengah dan kerajaan Singhadwara di Bali. Jadi leluhur Raja-Raja Dinasti Warmadewa diyakini berasal dari India, sehingga berdasarkan berita dari I-Tsing, pada tahun 695 M, adat tradisi di semua negara tadi hampir serupa, karena mereka menganut agama dan kebudayaan yang hampir sama berasal dari India. Mengapa mereka yaitu kaum Shaka, Pallawa dan Yawana menyebar meninggalkan India? Ini disebabkan pada awal tarikh masehi kaum Kushan (Mongol) menDesak mereka ke India bagian selatan (wilayah Tondaiman dalam,sebelah barat Madeas), dimana para pewaris mereka mendirikan kerajaan Pallawa. Kemudian pada abad ke-4, Samudra Gupta(335-375) menaklukkan kerajaan Pallawa, yang mana penaklukkan ini menyebabkan banyak vassal Raja Pallawa pergi meninggalkan India menuju Funan , Kutai, Sumatra dan Jawa.
Sejak itu, kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Dinasti Warmadewa dilihat dari asal usulnya merupakan campuran dari bangsa Yunani (Yawana), Persia (Pallawa) dan Shaka. Konon , berdasarkan Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang tahun 1612, Dinasti Warmadewa merupakan keturunan dari Raja Makedonia-Yunani, Alexander Yang Agung (Iskandar Zulkarnaen) yang pernah menguasai India pada abad IV SM. Kemudian diceritakan, ada keturunan Beliau datang ke Sumatera dan menjadi cikal bakal Dinasti Warmadewa bermula di Bukit Siguntang ,Palembang. Beliau adalah Paduka Sri Tri Bhuana yang menjadi pangkal empat jurai Rajakula di Asia Tenggara, yaitu Palembang (Sriwijaya), Majapahit, Semenanjung Malayu dan Minangkabau. Menarik juga untuk dicermati, kata Alexander mempunyai arti pria yang melindungi atau pria yang dilindungi, makna yang sama dengan kata Warmadewa.
Dalem Sri Kesari pendiri Dinasti Warmadewa di Bali. Raja Dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Dalem Sri Kesari Warmadewa [yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha] 1 yang dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari Sriwijaya (Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara (tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan Raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan Raja berwangsa Syailendra (Dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.
Di Bali, Sri Ratu Ugrasena (915-942), Raja kerajaan Singhamandawa (pusat istana di Sukawana, Penulisan, Bangli) yang berkaitan dengan kerajaan Kanuruhan dan Mataram (Sanjayawangsa) bersaing dengan Dalem Sri Kesari Warmadewa yang mulanya beristana di Bhumi Kahuripan Singhadwara (dekat Pura Besakih sekarang) kemudian memindahkan ibukota ke Pejeng. Di dalam Purana Bali Dwipa, diceritakan Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan Raja Mayadanawa yang memerintah di Bali dimana pada masanya melarang upacara Dewa Yajna di Pura Kahyangan seluruh Bali. Oleh Dalem Sri Kesari, pura-pura yang rusak kemudian diperbaiki, setelah itu beliau mengadakan upacara Yajna untuk memuja Tuhan dan menghormati para leluhur dilaksanakan pada hari Budha Kliwon Dunggulan yang kelak disebut hari Galungan atau hari kemenangan. Pulau Bali kemBali menjadi aman dan makmur serta wilayah kekuasaan meliputi Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan.
Rupanya persaingan ini dimenangkan oleh Dinasti Warmadewa, karena sejak tahun 942 tidak ada lagi prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Ratu Ugrasena. Dalem Sri Kesari Warmadewa menyatakan dirinya Raja Adhipati yang berarti dia merupakan penguasa di Bali mewakili kekuasaan Sriwijaya. Kemungkinan beliau adalah keturunan dari BalaputraDewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan nama Dinasti Warmadewa. Berdasarkan prasasti Blanjong di Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring dan prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 9135, beliau berhasil mengalahkan musuh-musuhnya baik di luar pulau maupun di pedalaman Bali. Tapi kemenangan ini mungkin tidak menyeluruh karena di pedalaman wilayah kraton Singhamandawa masih berkuasa Sri Ratu Ugrasena hingga tahun 942.
Persaingan antara dua Dinasti mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui perkawinan atau yang lain, karena setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena, yang menjadi Raja di Bali adalah dari Dinasti Warmadewa yaitu keturunan Dalem Sri Kesari, Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa (955-967), beliau juga bergelar Sri Candrabhaya SinghaWarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa, memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada tahun 960. Semasa pemerintahannya beliau memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air Madatu, tempat dimakamnya Sang Ratu Ugrasena. Situasi seperti ini sangat mirip dengan situasi di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, dimana ada persaingan kekuasaan sekaligus kerjasama antara dua Dinasti, Sanjaya dan Syailendra. Selanjutnya kekuasaan digantikan oleh putra beliau, Sri Jana Sadhu Warmadewa.
Pada masa beliau ini, konon Bali pada tahun 983 dikuasai oleh Ratu Sri Maha Raja Sriwijaya Mahadewi yang diperkirakan berasal dari kerajaan Sriwijaya. Setelah itu berkuasa Sri Dharma Udayana Warmadewa (989-1011). Beliau lahir sekitar tahun 963. Sebelum menjadi Raja di Bali, beliau pergi ke Jawa Timur, untuk mempersiapkan diri menjadi Raja dengan mendirikan pemandian Jalatunda tahun 987 dan melakukan tapabrata di puncak Gunung Penanggungan. Pada saat pemerintahan Sri Udayana adalah puncak kejayaan Dinasti Warmadewa di Bali, beliau mempersunting putri dari Jawa Timur, Mahendradatta Gunaprya Dharmapatni, putri dari Raja kerajaan Watu Galuh Sri Makuta Wangsa Wardhana. Saudara Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama TunggaDewa, yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Watu Galuh 3,6.
Pada masa pemerintahan beliau berdua, Udayana dan Mahendradatta, datang ke Bali seorang pendeta besar bernama Mpu Kuturan, kakak seperguruan dari Mpu Bharadah, melakukan reformasi terhadap agama Hindu dengan menyatukan sembilan sekte di Bali menjadi Tri Murti dan nama agama disepakati adalah Agama Siwa-Budha. Raja Udayana memiliki 3 orang putra, yang pertama adalah Sri Airlangga,lahir tahun 1000 yang kelak menjadi Raja Kahuripan,yang kedua, Sri Wardhana Marakata Pangaja TungaDewa (1011-1049), menjadi Raja menggantikan ayahandanya, dan yang ketiga Sri Anak Wungsu, yang naik tahta menggantikan kakaknya (1049-1079). Setelah wafat, kekuasaan dipegang oleh Sri Maha Raja Sri Walaprabhu. Setelah itu sejak tahun 1088, kekuasaan dijalankan oleh putri Sri Anak Wungsu yaitu Ratu Sakalindhu Kirana (1088-1101), dengan gelar Paduka Sri Maha Raja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utunggadewi atau Paduka Sri Maha Raja Gon Karunia Pwa Swabhawa Paduka Sri Saksatnira Harimurti Jagatpalaka Nityasa., beliau merupakan Raja putri yang pertama di Bali. Kemudian dari istri yang lain, dua putera yaitu, Sri Suradhipa, menjadi Raja pada tahun 1101-1119, dilanjutkan oleh sang adik yaitu Sri Jayasakti (1119-1150).
Sebelum Sri Jayapangus berkuasa, yang menjadi Raja di Bali adalah Hari Prabhu. Hari Prabhu yang juga dikenal dengan nama Ragajaya berkuasa selama 27 tahun. Sri Jayapangus berkuasa mulai sekitar tahun 1177 sampai tahun 1181. Sri Jayapangus digantikan oleh Sri Maha Raja Sri Arya Dingjaya Katana (1181-1200), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Raja Aji Ekalayalancana (1200-1204). Kemudian, yang menjadi Raja adalah Batara Guru Aji Kunti Kontana, yang memiliki dua anak (kembar) putra dan putri, yang putra bernama Sri DhanadiRaja Lancana dan yang putri bernama Sri Dhanadewi Ketu, keduanya dinikahkan dan kelak dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Mahasora Mahasori atau Mahewara Maherswari atau Sri Masula-Masuli. Selanjutnya yang menjadi Raja adalah Sri Hyang Ninghyang AdiDewa Lancana (1260-1286), kekuasaannya berakhir setelah Bali ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari dengan Rajanya bernama Sri Kertanegara, yang kemudian menugaskan Patih Kebo Parud menjadi pelaksana kekuasaan di Bali.
Setelah kerajaan Singhasari dihancurkan oleh Jayakatwang, Raja Gelang-Gelang, Kediri, maka kekuasaan di Bali dipegang oleh Sri Mahaguru Dharma Hutungga Warmadewa, kerajaannya disebut Bata Anyar, berkuasa hingga 1328 . Setelah itu, beliau digantikan putranya yaitu Sri Tarunajaya atau Sri Walajaya Kertaningrat yang berkuasa hingga tahun 1337. Sesudah itu yang menjadi penguasa di Bali adalah Sri Tapolung yang bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten (1337-1343). Beliau disebut juga Dalem Sri Bedahulu , adalah Raja Dinasti Warmadewa terakhir yang berkuasa di Bali, karena sejak tahun 1343, Bali ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit, dimana prajurit Majapahit yang menyerang Bali berada di bawah pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.



Adapun Dinasti yang dimaksudkan diantaranya:
1.      Raja Sri Ugra Sena
2.      Raja Sri Kesari Warmadewa
3.      Raja Candrabhayasinga Warmadewa
4.      Raja Dharma Udayana Warmadewa
5.      Raja Marakata
6.      Raja Anak Wungsu
7.      Sri Maha Raja Seri Walaprabu
8.      Sri Maha Raja Sri Sukalendukirana
9.      Sri Suradhipa
10.  Sri Jayasakti
11.  Raja Jayapangus
12.  Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
                                                                                        
2.2 Nama Raja-Raja Dinasti Warmadewa
2.2.1 Ratu Sri Ugra Sena
Berdasarkan bukti 9 buah Prasasti yang sudah ditemukan beliau memerintah pada tahun 915-942 masehi, sedangkan di Jawa Timur yang memerintah adalah Raja Sindok tahun 929-947 Masehi.
 2.2.2 Raja Sri Kesari Warmadewa
Setelah  Raja Sri Kesari Warmadewa berpusat Singhamandawa diketahui di Bali memerintah Raja Kula Warmadewa. Di dalan kitab kuna yang bernama Raja Purana tersebut seorang Raja di Bali yang bernama Sri Wira Dalem Kesari. Dikatakan beliau mendirikan istana disekitar Pura Besakih. Baginda amat tekun beribadah memuja Dewa-Dewa yang berkhayangan di Gunung Agung.Tempat pemujaan disebut pemujaan Selonding.Beliau memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yang ketika itu masih sangat sederhana, untuk memperlengkapinya maka didirikanlah beberapa buah Pura di sekitar Pura Panataran Agung, dengan diberi nama masing-masing , sebagai berikut:
1.      Pura Gelap untuk memuja Dewa Iswara.
2.      Pura Kiduling Kreteg untuk memuja Dewa Brahma.
3.      Pura Ulun Kulkul untuk memuja Dewa MahaDewa.
4.      Pura Batu Madeg untuk memuja Wisnu.
5.      Pura Dalem Puri untuk memuja Dewi Durga.
6.      Pura Basukian untuk memuja Naga Basukian.
  Selanjutnya dikatakan beliau juga memerintahkan agar perayaan Nyepi tiap-tiap  tahun harus dilakukan pada bulan kasanga yang disebut caitra-masa. Sehubungan dengan uraian diatas yang bersifat tradisional, ditemukanlah di Pura Blanjong yang terletak diDesa Sanur Kabupaten Badung sebuah prasasti yang lajim disebut Prasasti Blanjong yang berasal dari dua buah kata yakni belahan dan jong atau jung. Belah berarti pecah dan jong berarti perahu. Prasati itu ditatahkan pada sebuah batu monolit, yang kedua  belah sisinya terdapat tulisan-tulisan kuna, sebagian mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan itu menyebutka seorang Raja yang bernama Kesari Warmadewa yang bersinggasana di Singhadwala, dalam tulisan-tulisan itu bilangan tahun isaka dengan mempergunakan candrasangkala (angka tahun dalam bentuk kalimat), yang berbunyi Khecara Wahni Murti. Khecara berarti lima, Wahni berarti tiga dan Murti berarti delapan. Jadi candrasangkala menunjukkan angka tahun Isaka 835 (913 Masehi).
2.2.3    Raja Candrabhayasinga Warmadewa
Mengenai Raja ini hanya ditemukan baru sebuah Prasasti Batu, yang keadaannya sangat rusak. Prasasti itu disimpan di Pura Sakenan Desa Manukaya sebelah utara Desa Tampaksiring berangka tahun 960 Masehi. Isinya menyebutkan peristiwa pembuatan tirta di Air Hampul (Tirta Empul sekarang) di Desa Manuk raya (sekarang Desa Manukaya). Sampai sekarang tirta itu dipandang suci dan prasasti batu yang tersimpan di Pura Sakenan sewaktu-waktu disucikan di Tirta Empul. Demikian juga pada hari raya Galungan banyak barong dari Kabupaten Gianyar di sucikan di Tirta Empul.
2.2.4 Raja Dharma Udayana Warmadewa
Raja ini merupakan keturunan Raja Sri Kesari Warmadewa yang dilahirkan di Bali sekitar tahun 963 Masehi, kemudian kawin dengan putri Mahendradatta dari Jawa Timur sebagai cucu Raja Empu Sindok. Kedua Raja putrid ini mulai menaiki tahta kerajaan kira-kira tahun 989-1001 Masehi.
Perkawina baginda putrid Gunapria Dharmapatni dengan baginda Raja Dharma Udayana ternyata banyak membawa perubahan di Bali. Perubahan itu terjadi dalam struktur pemerintahan kemudian berpengaruh pula di bidang kebudayaan. Semenjak itu mulailah dipergunakan bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) dalam pembuatan-pembuatan prasasti  yang sebelumnya menggunakan bahasa Bali Kuna.
Dari perkawinan Dharma Udayana dengan Gunapria lahirlah beberapa orang putra di antaranya Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Airlangga di lahirkan di pulau Bali pada tahun 922 Saka atau 1000 Masehi. Ia kemudian pergi ke Jawa Timur untuk menikah dengan Putri Dharmawangsa yang mungkin masih keponakan ibunya. Ketika Airlangga berumur kira-kira 16 tahun.  Kerajaan Dharmawangsa yang merayakan perkawinan putrinya denga  Airlangga, tiba-tiba diserang Raja Haji Wurawuri . seluruh keratin musnah terbakar, sedangkan Dharmawangsa di bunuh. Airlangga melarikan diri dan berdiam di hutan-hutan. Baru pada tahun 1041 ia dinobatkan menjadi Raja di Jawa Timur. Ia berhasil menyatukan kerajaan Dharmawangsa pada tahun 1037 Masehi, pada waktu itu ia juga membuat sebuah wihara di Pucangan. Pada tahun 1042 Airlangga mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan menjadi pertapa, sampai ia mangkat pada tahun 1049. Agar anak-anaknya tidak saling berebutan kekuasaan, Airlangga mengirim Empu Bharadah ke Bali untuk meminta daerah itu untuk diberikan salah seorang putranya.Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh Empu Kuturan, yang rupa- rupanya sudah mempunyai calon untuk menempati tahta kerajaan Bali.
Setelah mangkat Gunapriya dicandikan di Pura Bukit Dharma Kutri Desa Buruan Balu dalam wujud yang menggambarkan arca Durgamahisasuramardini. Sedangkan Raja Udayana  setelah  wafat dicandikani Banu-wka. Di mana letak Banu-wka ini, hingga kini belum diketahui dengan jelas. Tetapi menurut Dr. R. Goris terletak di Candi Gunung Kawi yang terdapat di Desa Tampak Siring.
Anggota penasehat Raja suami istri di antara sekian banyaknya tersebutlah senapati Kuturan, namanya sering di sebut dalam prasasti yang masih disimpan di beberapa Desa di Bali. Baginda suami istri sengaja mengundang senapati Kuturan untuk menertibkan kemasyarakatan penduduk di Bali, tambahan pula pada waktu itu sudah tiba saatnya bagi senapati untuk menjalankan bhiksuka atau saniyasa, yakni hidup mengembara guna mengamalkan dharma selaku guru agama.
Untuk menerbitkan dan menegakkan sendi-sendi agama/kemasyarakatan di Bali, senapati segera mengadakan  pertemuan besar dihadiri oleh para pemuka masyarakat serta pendeta Siwa dan Budha. Dalam pertemuan itu di putuskan bahwa paham Tri Murti harus di tegakkan kemBali.

Maka sejak itu terciptalah pura Kahyangan Tiga, yakni tiga buah pura yang masing-masing disebut :
a.    Pura Desa, yang disebut juga pura Balai Agung untuk memuja kebesaran Dewa Brahma sebagai pencipta.
b.   Pura Puseh, untuk memuja Dewa Wisnu sebagai pemelihara.
c.    Pura Dalem untuk memuja Dewi Durga sakti Dewa Siwa sebagai pemralina.
             Pura Khayangan tiga tersebut didirikan pada tiap-tiap Desa di Bali, inilah yang menjadi dasar kekuatan Desa Pakraman di Bali yang berintikan pada adat istiadat dan agama.
              Disamping mengatur bidang keagamaan Empu Kuturan juga banyak mengarang kitab-kitab suci diantaranya beberapa yang terkenal seperti : Purana Tattwa, Desa Tattwa memuat pelajaran bagaimana cara memuja Dewa-Dewa.Juga kitab suci Kusuma Dewa yang mula-mula dikarang oleh Sang Kul Putih , kemudian disempurnakan lagi oleh Empu Kuturan.
                
2.2.5       Raja Marakata
Setelah Raja  Dharma Udayana wafat beliau digantikan oleh putranya Marakata saudara muda dari Airlangga. Dalam prasasti nama lengkapnya adalah Darmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana UttunggaDewa. Raja oleh rakyatnya dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu melindungi nasip rakyatnya. Ia selalu memperhatikan rakyatnya dimana-mana.
2.2.6    Raja Anak Wungsu
Raja ini menggantikan Raja Marakata dan merupakan putra bungsu dari Raja Dharma Udayana. Di antara Raja-Raja Bali kuna, anak wungsu boleh dikatakan Raja yang paling aktif atau mengabadikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada zamannya. Tidak kurang dari 28 buah prasasti dari Raja Anak Wungsu berhasil ditemukan, ditambah lagi dengan beberapa prasasti singkat lainnya yang terdapat di Gunung Kawi, Gunung Penulisan. Ia memerintah dari tahun 1049 Masehi sampai 1077 Masehi. Didalam prasasti ia disebut sebagai seorang Raja yang penuh belas kasihan dan dianggap sebagai penjelma Dewa Kebaikan.
Anak wungsu memerintah selama 28 tahun,  masa pemerintahan cukup lama bila dibandingkan dengan Raja-Raja Bali Kuna lainnya. Hal ini dapat terjadi bila keadaan agama aman tentram. Prasasti dari Raja ini terbesar di daerah Bali Selatan, Tengah dan Utara. Setelah Raja wafat di candikan di candi Gunung Kawi Desa Tampaksiring.
2.2.7 Sri Maha Raja Sri Walaprabu
Raja ini memerintah setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu. Meninggal tiga buah prasasti yang sampai kepada kita, dan tidak satupun prasasti itu berangka tahun. Menurut Damais prasasti itu di duga berasal dari antara tahun 1001 Saka sampai dengan 1010 Saka.
2.2.8    Sri Maha Raja Sri Sukalendukirana
Dari Raja ini kita hanya memperoleh dua buah prasasti, yang sebuah berangka tahun 102 S , sedangkan yang lain berangka tahun 1023 S.
2.2.9 Sri Suradhipa
Ia memerintah dari tahun 1037 S, sampai 1041 S.

2.2.10  Sri  Jayasakti
           Raja ini meninggalkan prasasti sebanyak 15 buah. Prasasti yang ke 14 dan 15 ditemukan di Desa Asahduren dan Banjar Gambang. Pada waktu Raja Jayasakti memerintah di Bali yang memerintah di Jawa pada waktu itu adalah Raja Jayabhaya. Sejak zaman Raja ini mulailah di Bali memerintah beberapa orang Raja yang menggunakan unsur nama Jaya (kemenangan) seperti halnya Raja Jayabhaya di Kediri. Raja Jayasakti memerintah kurang lebih 1133 M sampai 1150 M.
2.2.11 Raja Jayapangus
Jumlah prasasti yang sudah ditemukan atas nama Raja ini sebanyak 39 buah. Tetapi yang mengherankan bahwa hampir semua prasastinya dikeluarkan pada tahun yang sama yaitu 1181 Masehi, satu-satunya yang berbeda adalah prasasti yang sekarang tersimpan di Desa Mantri (Gianyar)
(  Manting A ) dan berangka tahun 1177 Masehi.
2.2.12     Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten
Pada tahun 1337 Masehi dinobatkan Seorang Raja di Bali yang bergelar Astasura Ratna Bhumi Banten, Perkataan Bhumi Banten menunjukkan daerah dimana beliau memerintah sedangkan Banten diduga sama dengan Bali. Jadi di pulau Balilah Raja Astasura Bhumi ini bertahta. Sebuah arca yang terdapat di pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan adalah melambangkan Raja Astasura ketika berkuasa di Bali. Arca batu padas itu pada bagian punggungnya memuat goresan yang berbunyi: Mata, kapak, segara atau gunung yang merupakan tahun candrasangkala Isaka 1254 (tahun 1332 Masehi),merupakan Raja Bali Kuna yang terakhir.
Sehubungan dengan Raja Astasura ini selanjutnya kitab Kuna yang bernama “Usana Jawa” menerangkan bahwa Raja Astasura juga bergelar Gajah Waktra atau Sri Tapolung serta beristana di Bedahulu. Adapun kisahnya lebih jauh disebutkan bahwa Baginda mempunyai dua orang patih yang ulung masing-masing bernama Pasung Grigis dan Kebo Iwa. Pasung Grigis bertempat tinggal di Desa Tangkulak. Terkenal keperwiraannya berperang, mahir didalam siasat pertempuaran disamping ahli dalam soal pemerintahan. Sedangkan Kebo Iwa bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan mahir dalam bidang seni bangunan dan rakyat kagum atas kekuatannya sebab itu Ia disebut juga Kebo Taruna (Taruna berarti membujang).


BAB III
HASIL PEMBAHASAN

4.1  Sistem Pemerintahan Dinasti Warmadewa
       Untuk mengetahui susunan pemerintah pada masa lampau di Bali kita mengalami banyak kesulitan karena tidak semua Raja yang pernah memerintah di Bali meninggalkan keterangan – keterangan yang dapat dipakai untuk menyusun susunan pemerintahan pada masa itu. Diantara Raja – Raja Bali yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu yaitu Raja Udayana, Jaya Pangus, Jaya Sakti, dan Anak Wungsu.
            Dalam mengendalikan pemerintahan Raja dibantu oleh suatu Badan Penasehat Pusat. Dalam prasasti tertua 882 Masehi – 914 Masehi badan ini disebut dengan istilah “panglapuan”. Sejak masa pemerintahan Udayana Badan Penasihat Pusat itu di sebut dengan istilah “pikiran-pikiran I jro makabaihan”. Badan ini beranggotakan :

a. Beberapa orang senapati, menurut Dr. Goris para senapati pada masa lampau dapat dibandingkan dengan para punggawa pada zaman Kerajaan Gelgel. Jumlah senapati biasanya 3 orang.
 b. Pendeta Siwa dan Budha.
Golongan ini mempunyai arti sangat penting didalam penyelesaian upacara-upacara agama, tetapi mereka itu dianggap juga mempunyai Raja. Sampai sekarang di Bali masih dikenal pendeta istana yang disebut bagawanta. Didalam prasasti-prasasti golongan pendeta agama Siwa disebut dengan gelar Dang Acarya, golongan pendeta agama Budha dengan gelar Dang Upadhyaya.
.

   4 .2 Agama dan Keperjayaan Yang Dianut
         Dalam bidang agama pengaruh zaman prasejarah terutama dari zaman megalitikum (zaman batu besar) masih terasa kuat kepercayaan pada zaman itu dititik beratkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut Teras Piramid atau bangunan berundang-undang. Kadang-kadang diatas bangunan teras piramid ditempatkan menhir yaitu tiang batu monolit sebagai symbol roh nenek moyang merek.
          Pada zaman Hindu hal itu terlihat pada bangunan Pura yang mirip dengan bangunan pundan berundak-undak. Kepercayaan kepada Dewa-Dewa gunung, laut, dan lain-lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya agama hindu, tetap tercemin didalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Bahkan sampai sekarang benda – benda dari zaman budaya megalitikum masih disimpan dan dipuja bersama – sama dengan patung – patung agama Siwa dan Budha. Keadaan ini membuktikan bahwa masyarakat Bali sekarang tidak mudah melepaskan hasil – hasil budaya dari zaman sebelum hindu. Kedua unsure budaya ini berpadu dengan sangat harmonis. Hanya kadang – kadang Dewa tertentu berubah namanya dengan nama baru yang diambil dari bahasa Sansekerta seperti bathara da-tonta (bathara, berasal dari bahasa sansekerta).
        Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sriwijaya Mahadewi, tidak diketahui dengan pasti agama apa yang dianut pada masa itu. Hanya dari nama – nama biksu yang memakai unsur nama siwa sebagai contoh biksu piwakangsita, siwa, biksu siwanirmala dan biksu siwaprajna, siwarudra dan lain – lain. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa.
        Baru pada masa pemerintahan Raja udayana dan permaisurinya gunapria ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk ialah agama siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti – prasastinya, dimana disebutkan adanya mpungku Sewasogata (siwa-Budha) sebagai pembantu Raja.
        Dalam kenyataan nya jumlah para pendeta agama siwa lebih banyak bila dibandingkan dengan para pendeta agama Budha. Hal ini mungkin dapat disimpulkan bahwa agama siwa lebih besar pengaruhnya dan penganutnya daripada agama Budha.
        Meskipun sebagian besar penduduk pada masa itu menganut agama siwa dan Budha, tetapi sekte – sekte kecil yang menyembah Dewa – Dewa tertentu pasti ada juga seperti misalnya Sekte Ganapatya (penyembah Gana), Sora (penyembah Surya) dan sebagainya. Perkiraan ini berdasarkan kenyataan bahwa banyak sekali arca ganesha yang ditemukan di Bali antara lain digunung penulisan, pura penataran sasih pejeng, pura pusering jagat dan lain – lain. Selanjutnya pemujaan kepada surya (Suryasewana) secara singkat dapat dikatakan bahwa tersebut masih tercermin hingga sekarang diBali berupa kebaktian kepada siwaditya oleh golongan brahmana – siddhanta.

BAB IV
METODELOGI PENULISAN

3.1  Jenis dan Sumber Data
     3.1.1. Jenis Data
            a. Data Kualitatif
Data yang diambil dari sumber internet dan buku sejarah  yang berbentuk data huruf atau abjad.
     3.1.2. Sumber Data
            a. Data Primer
Data yang diperoleh dari sumber internet (http://reyprakoso15.blogspot.com/) dan buku sejarah.
            b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari bimbingan guru sejarah., internet dan buku sejarah.



3.2  Teknik Pengumpulan Data
            3.2.1. Interview
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan narasumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tema.
            3.2.2. Kepustakaan
Data-data yang diperoleh dari sumber internet yang berkaitan dengan tema makalah.

  

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1  Kesimpulan
        Dari rumusan masalah diatas kami menarik kesimpulan bahwa sejarah yang menceritakan tentang Dinasti Warmadewa perlu di pelajari oleh generasi muda untuk mengingat leluhur kita pada saat masa Dinasti Warmadewa, sehingga arah kehidupan bangsa menjadi kukuh dan kuat. Selain itu sejarah patut dipelajari untuk membentuk dan mengisi kepribadian bangsa serta untuk memahami masa lampau sebagai landasan perilaku kita masa kini dan menetapkan arah ke masa depan diatas kepribadian sendiri.

5.2  Saran
     Sebaiknya kita sebagai generasi muda perlu mengetahui dan mempelajari sejarah-sejarah yang ada, agar kita dapat mempertahankan budaya dan mengingat leluhur kita dan untuk menanamkan           rasa cinta kepada perjuangan bangsa dalam rangka memberikan dasar bagi pembentukan Kepribadian Bangsa.


Makalah Kerajaan Mataram Kuno


DAFTAR ISI
BAB I       PENDAHULUAN   ...........................................................................................
  1.1     Latar Belakang...............................................................................            
  1.2     Rumusan Masalah .................................................................................  
BAB II        PEMBAHASAN.....................................................................................
                    2.1      Asal-usul Wangsa Isyana...................................................................
                    2.2      Kehidupan Masyarakat........................................................................
                                2.2.1 Aspek Kehidupan Ekonomi...........................................................
                                2.2.2 Struktur Birokrasi.........................................................................
                                2.2.3 Administrasi Pengadilan......................................................
                                2.2.4 Keadaaan Masyarakat.........................................................
                    2.3      Penyebab Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno.....................................
BAB III       METODOLOGI PENULISAN............................................................................
                    3.1      Jenis dan Sumber Data.........................................................................
                                3.1.1    Jenis Data .................................................................................
                                3.1.2    Sumber Data....................................................................
                    3.2      Teknik Pengumpulan Data....................................................................
                                3.2.1      Interview.................................................................................                                 3.2.2                    Kepustakaan                    

BAB IV      PENUTUP............................................................................................
                    4.1      Kesimpulan................................................................................
                    4.2      Saran……………………………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10 kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok yang kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah Makuthawangsa Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai penutup Kerajaan Mataram Kuno atau medang.
Secara umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan mataram.Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur.


1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimana asal-usul terbentuknya Wangsa Isyana? Dan bagaimana masa Dharmawangsa Teguh?
2.Bagaimana kehidupan masyarakat kerajaan Mataram Kuno setelah berpindah ke Jawa Timur?
3.Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Asal-usul Wangsa Isyana
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran  Siwa. Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang baru tetap bernama Mataram, sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun 865 Saka (943M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu Sindok dalam kelurga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang di permasalahkan. Seperti yang telah dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan Mahapatih  i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang sah, siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu kawin dengan putri mahkota untuk dapat menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M. Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok  berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan menjadi sima atas perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan di Anjukladang.  Dapat dilihat bahwa memang
Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat dalam prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu desertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukara dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga sana-sini raja bawahan atau penguasa setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu dikuasai dengan kekutan senjata, bukanlah hal yang mustahil. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbat memang membayangkan adanya kemungkinan tersebut. Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan mungkin juga berhubungan dengan adanya serangan musuh. Seperti telah disebutkan, ibu kota kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh.
Dari sekian banyak bangunan  suci yang disebutkan di dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada satu pun yang dapat dilokalisasikan dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor dan sekarang didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada reruntuhan candi. Sebenarnya diharapkan adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapan diidentifikasikan dengan candi kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi hingga kini belum ada peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap sebagai candi peninggalan kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung(sekitar tahun 890-900-an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini merupakan salinan kedalam bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta. Angka tahun dituliskannya tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di kitab juga disebutkan nama raja  yang memerintah saat itu yakni Sri Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain ditemukannya kitab juga ditemukan sebuah prasasti, yakni adalah prasasti Jayawarsa Dikwijaya Sastra Prabudalam kitab itu  disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan bahwa dirinya anak cucu sang Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar Abiseka sebagai Raja Sri Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan yang terakhir sebuah candi Dharma Parhyangan di Wetan, candi ini merupakan candi untuk mengenang kematian Darmawangsa Teguh.
Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentukan, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di sebelah selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai tempat menirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak di sebelah selatan seluas 3tampah yang telah digadai oleh pungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanja.
Prasasti Kawambang Kulwan boleh dikatan belum diterbitkan sebagaimana mestinya.Apa yang terdapat dalam transkipi Brandes sebagian kecil permulaannya saja, itu pun hanya dibaca satu sisi, sedang prasasti ini ditulis melingkar. Yang dapat ditangkap ialah bahwa prasasti ini memuat anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan pu Burung bahwwa prasasti sima di Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa (an padamla parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini berasa dari masa pemerintahan Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum terbaca; yang ada ialah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti yang dipahat pada batu alam yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok), dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Rupa-rupanya pohon itu ditanam di tempat permulaan atau akhir jalan yang diperbaiki itu.Peristiwa ini diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis dengan huruf kuadrat yang besar-besar.Raja  Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan kitab Wirataparwa, memerintah dalam dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin sampai tahun 1017 M. Melihat gelarnya yang mengandung unsur Isana ia jelas keturunan Pu Sindok secara langsung. Kemungkinan besar ia anak Makutawangsa-warddhana, jadi saudara Mahendradatta Gunapriya-dharmmapatni. Ia menggantikan ayahnya duduk diatas takhta kerjaan Mataram, sedang Mahendradatta kawin dengan Udayana, yang ternyata seorang raja dari Wangsa Warmmadewa di Bali. Dapat dipahami sepenuhnya mengapa Airlangga menyebut dirinya masih anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh
Dharmawangsa Teguh memerintah dalam dasawarsa terakhir abad 10 M dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh memiliki gelar Sri Isana Dharmawangsa  Teguh Anantawikramottunggadewa (menurut prasati raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabu dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang disandang mengandung unsur Isana, jelas bahwa Dharmawangsa Teguh keturunan dari Empu Sendok secara langsung (Prasati Pacangan). Kemungkinan besar Dharmawangsa Teguh anak dari Makutawangsawardana, dia juga merupakan saudara dari Mahendradatta Gunapriya Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan ayahnya dengan duduk di atas tahta Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawin dengan Udayana yang ternyata seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di Bali. Jadi pada waktu itu Bali sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti dengan ditemukannya prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) pada saat itu kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa pernah menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina, tetapi serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan Sriwijaya, karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan sebaliknya untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M. Pemerintahan Dharmawangsa Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini terbukti adanya prasasti batu yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang ) di daerah Sumatra Selatan tahun 919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya untuk yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah Maospati. Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas sumber dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk meluaskan kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan ditangan raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari sangat dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi putri Dharmawangsa Teguh tidak tercapai, karena Dharmawangsa Teguh menikahkan putrinya dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh hancur menjadi abu karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja Wurawari dan seluruh daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh ketangan raja Wurawari. Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja Wurawari cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan Dharmawangsa dicandikan di Wwatan, sekarang masih ada di desa Wotan di daerah kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam masa pemerintahaannya menitik beratkan pada pola politik luar negrinya. Ketika Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa sekitar tahun 992 yang hasilnya Sriwijaya kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan pembalasan atas serangan itu terhadap Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu oleh raja Wurawari, sehingga mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau Pralaya.

2.2 Kehidupan Masyarakat
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawaperubahan baru dalam kehidupansosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang berevolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai itu karuang.Sumber−sumber berita Cina mengungkapkan keadaan  masyarakat Mataram dari abad ke−7 sampai ke−10. Kegiatan  perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam  dan Cina. Kenyataa ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperolehin formasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah parasaudagar dariluar negeri.Namun, sumber−sumber local tidak memperinci lebih lanjut tentang orang−orang asingini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina.Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana,  berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luaristana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman param pejabat tinggi kerajaan termasuk  putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di manapara hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga  tinggl sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat  Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di sampingitu, penduduk di desa (disebutwanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, danitik.Sebagai tenagakerja, merekajugaberdagang  danmenjadi pengrajin.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diaadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurutka lender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasardiadakan di pusatkota. Pada har I Mani satau legi, pasar diadakan di desabagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan.Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Padahari Wage, pasar diadakan di desasebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarterdengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah berkembang. Beberapa hasil industry ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula, kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di pasar−pasar tadi.Sementaraitu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian dibukamenjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepaladesa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahibuntuk di jadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.

2.2.1 Aspek Kehidupan Ekonomi
Rakyat Mataram menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya.Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta telurnya juga di perjualbelikan.Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung berkuasa.Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut.Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.

2.2.2 Struktur Birokrasi
Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno raja (Sri Maharaja) ialah penguasa tertinggi. Dari gelar abhiseka dan puji-pujian kepada raja di dalam berbagai prasasti dan kitab-kitab susastra Jawa Kuno sejak raja Airlangga. Dari jaman Mataram Kuno hanya ada dua orang raja yang bergelar abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayottunggadewa dan Rakai Layang dyah Tulodong Sri Saijanasanmatanuragatungadewa.Di naskah Ramayana Kakawin  yang di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas kewajiban seorang raja), yaitu bagian yang merupakan ajaran Rama kepada adiknya Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaranastrabrata, yaitu perilaku yang delapan. Dikatakan bahwa di dalam diri seorang raja berpadu 8 dewa-dewa, yaitu Indra, Yama, Suryya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Secara singkat bahwa seorang raja harus berpegang teguh pada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang wigraha anugerah), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak-gejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar rakyatnya senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.Sejak raja Airlangga sampai munculnya Wangsa Rajasa raja-raja menggunakan gelar abhiseka yang berarti penjelmaan Wisnu, hal itu berlandaskan konsepsi kosmologis. Konsepsi ini dipergunaka oleh nenek moyang kita untuk membenarkan fakta sejarah tentang tergulingkannya seorang maharaja oleh raja bawahannya.
Contoh tentang digulingkannya seorang maharaja oleh seorang penguasa daerah atau oleh maharaja dari mandala yang lain, ialah perang saudara, atau perang perebutan kekuasaan di antara para pangeran, yang disebabkan karena raja di jaman dulu, disamping parameswari banyak yang dapat memberikan anak laki-laki kepada raja. Perang saudara dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran itu terjadi pada masa sesudah Rakai Kayuwangi pu Lokapala sampai ke masa pemerintahan Pu Sindok, dan pada masa sesudah raja Airlangga.Sebenarnya telah ada ketentuan mengenai hal waris atas takhta kerajaan, yaitu bahwa ya ng pertama-tama berhak untuk menggantikan duduk di atas takhta kerajaan ialah anak-anak raja yang lahir dari parameswari.
Di dalam prasasti-prasasti dari jaman pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura dijumpai seorang pejabat yang kedudukannya setingkat dengan para putra raja itu, yaitu pamgat tiruan.Gelar pamgat menunjukkan bahwa ia seorang pejabat keagamaan. Dari prasasti-prasasti dari masa rajakula Rajasa pamgat tiruan  ialah seorang upapatti atau pejabat kehakiman.Ada satu pejabat yang hingga sekarang hanya dijumpai di dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, yaiturakryan kanuruhan. Gelar kanuruhan ditemukan juga di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu candi perwara Candi Loro Jonggrang di Prambanan pada deretan yang sebelah timur.Rakryan kanuruhan mulai tampak sebagai pejabat dalam hirarki pemerintahan pusat sejak jaman empu sindok. Pada masa pemerintahan raja Dharmmawangsa Airlangga ia merupakan pejabat yang terpenting sesudah para putra raja keadaan ini terus berlangsung sepanjang jaman Kadiri. Dalam jaman ini ia disebut sebagai yang terutama di antara pada tanda rakryan ring pakirakiran.
Itulah gambaran yang diperoleh dari sumber prasasti tentang birokrasi ditingkat pusat kerajaan. Raja didampingi oleh para pangeran, di antaranya putra mahkota, dan seorang pejabat kehakiman. Mereka itu ialah rakarayan mapati I hino, I halu, I sirikan, I wka, dan pamgat tiruan. Berita cina yang menyangkut masalah birokrasi di kerajaan Mataram tidak juga banyak menolong dalam mengungkapkan selengkapnya masalah ini. Berita dari jaman rajakula T’ang (Hsin-T’ang-shu) mengatakan bahwa ada 32 pejabat tinggi, dan yang pertama di antara mereka ialah ta-tso-kan-hiung. Berita dari jaman rajakula Sung mengatakan : tiga orang putra raja bertindak sebagai raja muda, dan ada pejabat yang bergelar samgat dan empat rakryan, yang bersama-sama menyelenggarakan Negara sebagaimana para menteri di Cina, mereka itu tidak memperoleh gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu memperoleh hasil bumi dan barang-barang lain semacamnya.
Berita yang pertama pernah ditafsirkan sebagai berita yang khusus berkenaan dengan masa pemerintahan Rakai Watukara Dyah Balitung, sebab ta-tso-kan-hiung ditafsirkan sebagai Daksa, saudara raja yang gagah berani.Berita yang kedua lebih terperinci, dan dalam beberapa hal memang sesuai dengan data epigrafis. Di atas sudah dilihat adanya tiga, bahkan sebenarnya empat orang putra raja yang duduk dalam hirarki pemerintahan. Tetapi bahwa selanjutnya ada samgat dan empat rakryan tidaklah sesuai, karena kenyataannya ada empat samgat dan lima orang rakryan.
Dengan perkataan lain kebanyakan di antara para manilala drawiya haji itu ialah abdi dalem keraton, yang menikmati kekayaan raja dalam arti menerima gaji tetap dari perbendaharaan kerajaan. Para pejabat tinggi kerajaan dan para pangeran yang menduduki jabatan di dalam hirarki pemerintahan tingkat pusat, baik yang bergelar rakai maupun pamgat, lebih banyak tingkat di lingkungan ibukota kerajaan. Sayang sekali prasasti-prasasti tidak memberikan data yang lengkap tentang struktur birokrasi ditingkat watak itu. Lebih terperinci ialah keterangan mengenai pejabat-pejabat di bawah para penguasa daerah. Seorang Rakai Patapan misalnya, disebut mempunyai bawahan tuhan ning nayaka, parujar atau parwuwus, matanda, tuhan ning kalula, tuhan ning lampuran, tuhan ning mangrakat atau manapal, dan tuhan ning wadia rarai.

2.2.3 Administrasi Pengadilan
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintahan daerah yang lain ialah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di dalam prasasti-prasasti disebut sukha dukha, yang di dalam naskah-naskah hukum disebut hala hayu, denda-denda itu di dalam prasasti juga disebut drawya haji. Hal ini tidak perlu mengherankan karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum menjadi pegangan para hakim itu tentu tidak ditulis di atas logam, karena akan menjadi berat dan mahal.Beberapa naskah hukum jawa kuno yang sampai kepada kita diketahui merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain kitab Purwadhigama, Kuramanawa atau Siwasasana dan Swarajambhu. Menurut penelitian van Naerssen memang ada petunjuk bahwa naskah-naskah hukum jawa kuno itu diulis kembali pada waktu kemudian.
Karena dari jaman Mataram tidak ada naskah hukum yang sampai kepada kita, maka gambaran tentang administrasi kehakiman hanya dapat disuguhkan di sini berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (Jaya Patra), dan keterangan tentang sukha dukha yang terdapat dalam prasasti-prasasti yang lain.Perkara yang dipermasalahkan di dalam prasasti Guntur dan Wurudu Kidul dapat diselesaikan ditingkat watak oleh seorang pamgat. Sudah kita lihat bahwa yang diperkarakan di dalam prasasti Guntur ialah masalah hutang piutang. Di dalam surat keputusan itu disebutkan sebagai sebab yang pertama mengapa Sang Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena ia tidak hadir di persidangan. Alasan yang serupa juga digunakan terhadap Sang Pamariwa yang digugat oleh Sang Danadi.
Sebagai alasan yang kedua mengapa Sang Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena menurut kitab hukum hutang istri yang dibuat tanpa pengetahuan suaminya, apalagi kalau mereka itu tidak mempunyai anak, tidak menjadi tanggung jawab si suami. Pasal yang mengatakan demikian tidak terdapat di dalam naskah hukum yang diterbitkan oleh Jonker, juga tidak ada di dalam bab VIII dari Manawadharmmasastra. Hal yang diajukan di dalam prasasti Wurudu Kidul tidak terdapat di dalam naskah hukum yang kita kenal. Mungkin tidak ada naskah hukum yang mengatur masalah status kewarganegaraan seseorang. Maka dalam hal ini keputusan diambil berdasarkan kesaksian kaum keluarga Sang Dhanadi dan penduduk asli yang netral dari beberapa desa di luar desa tempat tinggal Sang Dhanadi.
Di dalam naskah-naskah hukum memang ada juga dicantumkan syarat-syarat seorang saksi, antara lain harus orang yang telah berkeluarga, yang banyak anaknya, penduduk asli, dan orang-orang yang tidak berkepentingan di dalam perkaranya, baik dari kasta ksatrya, waisya, maupun sudra. Seorang brahmana tidak dapat dijadikan saksi, demikian pula raja sendiri, para tukang dan pandai, dan para pendeta yang telah meninggalkan keduniaan.Bahwa pihak yang tidak hadir dalam persidangan harus dinyatakan kalah perkaranya memang ditentukan di dalam naskah hukum. Dalam kasus Sang Dharmma melawan Pu Tabwel sebenarnya ada ketentuan bahwa Sang Dharmma dapat dikenai denda, karena menagih hutang tetapi tidak mau datang di pengadilan untuk menjelaskan duduk perkaranya hutang piutang itu. Tetapi ternyata di dalam prasasti Guntur itu tidak ada disebutkan hukuman bagi Sang Dharmma.

2.2.4 Keadaan Masyarakat
Di samping stratifikasi sosial berdasarkan pembagian kasta seperti yang ternyata dari berbagai prasasti, ada lagi stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat, baik kedudukan di dalam struktur birokrasi maupun kedudukan sosial berdasarkan kekayaan materil. Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat jawa kuno bersifat kompleks dan tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta brahmana, kasta yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga ditingkat desa (Wanua), tetapi dapat juga tidak mempunyai sesuatu jabatan. Ada juga orang dari kasta ksatrya yang dapat menduduki jabatan keagamaan ditingkat pusat, seperti Sang pamgat tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu biara. Di ibukota kerajaan, yang menurut berita-berita Cina dikelilingi oleh dinding, baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang juga dikelilingi oleh dinding. Di luar istana, masih di dalam lingkungan dinding kota, terdapat kediaman putra mahkota (Rake hino), dan tiga orang adiknya, dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Rumah-rumah mereka itu terletak di dalam kampung khusus di dalam lingkungan tembok kota, di mana tinggal para hamba mereka masing-masing.
Di dalam lingkungan tembok kota itu juga tinggal para pejabat sipil yang lebih rendah, yaitu para manilala drawyah haji yang jumlahnya mungkin sampai kira-kira tiga ratus orang, bersama-sama dengan keluarga mereka. Jadi di dalam lingkungan tembok ibukota kerajaan tinggal kelompok elit dan non elit, dengan raja dan keluarganya mengambil tempat tersendiri. Menurut berita-berita Cina raja tiap hari mengadakan pertemuan dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan dan pendeta penasehat raja. Biasanya raja mengambil keputusan setelah mendengarkan pendapat dari para pejabat yang hadir sebagai contoh dapat dikemukakan di sini prasasti Sarwadharma tahun 1191 saka (31 oktober 1269 M). Di dalam prasasti ini diperingati permohonan rakyat dari desa-desa yang menjadi punpunan Sang Hyang Sarwwadharma di wilayah Janggala dan Pangjalu agar mereka itu dibebaskan dari ikatan thanibala, sehingga tidak perlu lagi membayar bermacam-macam pungutan.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari kebutuhan akan hiburan. Prasasti-prasasti dan relief candi-candi, teritama Candi Borobudur dan Prambanan, banyak member data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Tentang pertunjukan wayang di dalam prasasti Wukajana dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung.Pada pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang orang serta pembacaan ceritera Ramayana ada lagi pertunjukan lawak mamirus dan mabanol. Pertunjukan lawak hampir dijumpai di semua prasasti yang menyebut upacara penetapan sima secara terperinci.Tarian-tarian juga sering dipertunjukan pada upacara penetapan sima. Ada tari-tarian yang dapat ditarikan bersama oleh laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan pemuda-pemudi, dan ada juga tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Ada juga tari topeng (matapukan). Tarian itu biasanya diiringi dengan gamelan. Ternyata prasati dan relief candi menampilkan jenis alat gamelan yang terbatas, anatra lain semacam gendang (padahi) kecer atau simbal (regang), semacam gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi(wina), seruling dan gong.
Adanya berbagai macam tarian yang diiringi oleh gamelan yang terbatas itu dijumpai di relief Candi Prambanan dan Borobudur. Diantaranya kita dapat melihat tarian perang, seorang wanita menari sendiri, adegan yang menggambarkan semacam reog di Jawa Barat, dan lain-lain. Adegan wanita yang menari sendiri diikuti oleh beberapa orang laki-laki yangbertepuk tangan mengingatkan kita pada keterangan di dalam prasasti Poh yang menyebut rara mabhramana tinonton mwang were werehnya (gadis yang berkeliling untuk ditonton dengan orang laki-laki), mungkin semacam teledek yang ngamen berkeliling dari desa ke desa yang lain.Berbagai macam tontonan itu tentu saja ridak hanya dipertunjukkan pada waktu ada upacara penetapan sima. Ada dalang, penabuh gamelan, penari dan pelawak professional, yang memperoleh sumber penghasilan dari profesinya tersebut. Seperti telah dikatakan di atas bahwa para seniman itu masuk ke dalam kelompok wargga kilalan.

2.3 Penyebab Keruntuhan Kerajaaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis.Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan. Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.

BAB III
METODELOGI PENULISAN

3.1  Jenis dan Sumber Data
     3.1.1. Jenis Data
            a. Data Kualitatif
Data yang diambil dari sumber internet dan buku sejarah  yang berbentuk data huruf atau abjad.
     3.1.2. Sumber Data
            a. Data Primer
Data yang diperoleh dari sumber internet (http://reyprakoso15.blogspot.com/) dan buku sejarah.
            b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari bimbingan guru sejarah., internet dan buku sejarah.



3.2  Teknik Pengumpulan Data
            3.2.1. Interview
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan narasumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tema.
            3.2.2. Kepustakaan
Data-data yang diperoleh dari sumber internet yang berkaitan dengan tema makalah.







BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara umum  kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana.Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentuka, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M).Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta telurnya juga di perjualbelika
4.2  Saran

     Sebaiknya kita sebagai generasi muda perlu mengetahui dan mempelajari sejarah-sejarah yang ada, agar kita dapat mempertahankan budaya dan mengingat leluhur kita dan untuk menanamkan           rasa cinta kepada perjuangan bangsa dalam rangka memberikan dasar bagi pembentukan Kepribadian Bangsa.