BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ilmu sejarah sangat banyak kita temui, apalagi saat ini
dengan kemajuan teknologi di internet kita dapat mengetahui berbagai hal
tentang ilmu sejarah. Sejarah bukan saja dapat memberikan dorongan solidaritas
tetapi lebih jauh dari pada itu, juga dapat menumbuhkan kekompakan dan semangat
juang yang meningkat dalam mensukseskan pembangunan dengan rasa nasionalisme
dijiwai generasi muda khususnya mengukuhkan kehidupan Kebudayaan Bali.
Sejarah pada hakikatnya memaparkan suatu kisah, yang
memberikan citra kepada pembaca atau pelajar tentang kehidupan dan perkembangan
suatu bangsa di masa lampau. Sejarah Bali melukiskan kisah kehidupan dan
perkembangan masyarakat Bali, yang merupakan bagian terpadu dari Sejarah
Nasional Indonesia. Kehidupan masyarakat Bali Dewasa ini yang termasyur karena
hasil-hasil kebudayaannya, sesungguhnya adalah suatu hasil perkembangan
sejarahnya sendiri sejak dahulu kala.
Sejarah patut di pelajari untuk membentuk dan mengisi
kepribadian bangsa serta untuk memahami masa lampau sebagai landasan perilaku
kita masa kini dan menetapkan arah kemasa depan di atas kepribadian sendiri.
Masa lampau, masa kini dan masa depan masyarakat kita adalah suatu rangkaian peristiwa
sejarah yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaiman sistem pemerintahan Dinasti
Warmadewa ?
Agama dan Kepercayaan apa yang dianut
oleh Dinasti Warmadewa ?
1.3 Tujuan dan
Manfaat
1.3.1 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui Dinasti Warmadewa di
Bali,agar generasi muda bisa lebih memahami nilai keluhuran kehidupan nenek
moyang khususnya Dinasti Warmadewa
Untuk mendapatkan pengetahuan sejarah yang
lebih mendekati kebenaran sehingga generasi muda bisa memahami
nilai-nilai luhur nenek moyang, sehingga kehidupan bangsa semakin kuat dan
kukuh.
1.3.2 Manfaat Penulisan
Sebagai penanaman rasa cinta Tanah Air dan
Bangsa serta menumbuhkan kehidupan kebudayaan bangsa kita yang telah memiliki
nilai luhur dan tinggi,disamping itu juga agar kita bisa memperluas
perbendaharaan peristiwa sejarah khususnya pengetahuan Dinasti Warmadewa di
Bali.
1.4 Ruang Lingkup Masalah
Karena
keterbatasan data yang bisa dipakai untuk mengungkapkan keberadaan Dinasti
Warmadewa di Bali, sehingga makalah ini bisa mengungkapkan berdasarkan benda
arkiologi ( data-data sejarah ) yang dapat ditemukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dinasti
Warmadewa
Dinasti (wangsa) Warmadewa adalah keluarga bangsawan yang
pernah berkuasa di Pulau Bali.
Pendiri Dinasti ini adalah Sri Kesari Warmadewa, menurut
riwayat lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya
disebut-sebut dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai Raja
Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti ini, Sri
Kesari adalah penganut Budha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk
memerintah Bali. Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa
Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.
Salah satu Dinasti kerajaan yang terbesar di Kepulauan
Nusantara dan semenanjung Asia Tenggara adalah Dinasti Warman atau Warmadewa.
Warmadewa berasal dari bahasa Sansekerta secara umum berarti berarti Dewa
Pelindung atau Dilindungi Dewa. Raja-Raja dari Dinasti Warmadewa ini awalnya
berasal dari India (kerajaan Pallawa) 3, muncul kemudian menyebar ke Nusantara
dan ke wilayah Asia Tenggara sejak abad ke-5 Masehi, mendirikan dan menguasai
banyak kerajaan, seperti Kaundhiya, pengikut ajaran Maharsi Agastya, mendirikan
Dinasti Warmadewa di Funan (Kamboja sekarang), kemudian kerabatnya yang lainnya
bernama Kudungga, pada periode yang sama mendirikan Dinasti Warmadewa di
Kerajaan Kutai atau Poli di Kalimantan Timur.
Kemudian juga muncul kerajaan Chenla (Angkor) di Kamboja dan
kerajaan Champa (Lin-yi) di Vietnam 2. Demikian pula di Sumatra, timbul
kerajaan Kuntala, Malayu (Suarnabhumi) dan Sriwijaya, Raja-Raja mereka awalnya
diyakini berasal dari India serta dengan nama Rajakula Warmadewa pula.
Selanjutnya di Jawa Barat, muncul kerajaan Salakanegara dan Tarumanegara,
dengan Raja berwangsa Warmadewa pula, di Jawa Tengah berdiri kerajaan Kalingga
(Keling atau Holing) dan Mataram, Raja-Raja awalnya berasal dari India, dimana
ada Raja berwangsa Warmadewa dan ada pula berwangsa Sanjaya .
Pada saat berikutnya, kerajaan Sriwijaya berekspansi
menguasai pantai utara Jawa dan Bali, mendirikan wangsa Sailendra di Jawa
Tengah dan kerajaan Singhadwara di Bali. Jadi leluhur Raja-Raja Dinasti
Warmadewa diyakini berasal dari India, sehingga berdasarkan berita dari
I-Tsing, pada tahun 695 M, adat tradisi di semua negara tadi hampir serupa,
karena mereka menganut agama dan kebudayaan yang hampir sama berasal dari
India. Mengapa mereka yaitu kaum Shaka, Pallawa dan Yawana menyebar
meninggalkan India? Ini disebabkan pada awal tarikh masehi kaum Kushan (Mongol)
menDesak mereka ke India bagian selatan (wilayah Tondaiman dalam,sebelah barat
Madeas), dimana para pewaris mereka mendirikan kerajaan Pallawa. Kemudian pada
abad ke-4, Samudra Gupta(335-375) menaklukkan kerajaan Pallawa, yang mana
penaklukkan ini menyebabkan banyak vassal Raja Pallawa pergi meninggalkan India
menuju Funan , Kutai, Sumatra dan Jawa.
Sejak itu, kawasan Asia Tenggara menjadi wilayah kekuasaan
Dinasti Warmadewa. Dinasti Warmadewa dilihat dari asal usulnya merupakan
campuran dari bangsa Yunani (Yawana), Persia (Pallawa) dan Shaka. Konon ,
berdasarkan Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang tahun 1612, Dinasti Warmadewa
merupakan keturunan dari Raja Makedonia-Yunani, Alexander Yang Agung (Iskandar
Zulkarnaen) yang pernah menguasai India pada abad IV SM. Kemudian diceritakan,
ada keturunan Beliau datang ke Sumatera dan menjadi cikal bakal Dinasti
Warmadewa bermula di Bukit Siguntang ,Palembang. Beliau adalah Paduka Sri Tri
Bhuana yang menjadi pangkal empat jurai Rajakula di Asia Tenggara, yaitu
Palembang (Sriwijaya), Majapahit, Semenanjung Malayu dan Minangkabau. Menarik
juga untuk dicermati, kata Alexander mempunyai arti pria yang melindungi atau
pria yang dilindungi, makna yang sama dengan kata Warmadewa.
Dalem Sri Kesari pendiri Dinasti Warmadewa di Bali. Raja
Dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Dalem Sri Kesari Warmadewa [yang
bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha] 1 yang dikenal juga dengan Dalem
Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau
berasal dari Sriwijaya (Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari
Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara (tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di
pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara
Mataram dengan Raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan Raja
berwangsa Syailendra (Dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.
Di Bali, Sri Ratu Ugrasena (915-942), Raja kerajaan
Singhamandawa (pusat istana di Sukawana, Penulisan, Bangli) yang berkaitan
dengan kerajaan Kanuruhan dan Mataram (Sanjayawangsa) bersaing dengan Dalem Sri
Kesari Warmadewa yang mulanya beristana di Bhumi Kahuripan Singhadwara (dekat
Pura Besakih sekarang) kemudian memindahkan ibukota ke Pejeng. Di dalam Purana
Bali Dwipa, diceritakan Dalem Sri Kesari Warmadewa menaklukkan Raja Mayadanawa
yang memerintah di Bali dimana pada masanya melarang upacara Dewa Yajna di Pura
Kahyangan seluruh Bali. Oleh Dalem Sri Kesari, pura-pura yang rusak kemudian
diperbaiki, setelah itu beliau mengadakan upacara Yajna untuk memuja Tuhan dan
menghormati para leluhur dilaksanakan pada hari Budha Kliwon Dunggulan yang
kelak disebut hari Galungan atau hari kemenangan. Pulau Bali kemBali menjadi
aman dan makmur serta wilayah kekuasaan meliputi Makasar, Sumbawa, Sasak dan
Blambangan.
Rupanya persaingan ini dimenangkan oleh Dinasti Warmadewa,
karena sejak tahun 942 tidak ada lagi prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Ratu
Ugrasena. Dalem Sri Kesari Warmadewa menyatakan dirinya Raja Adhipati yang
berarti dia merupakan penguasa di Bali mewakili kekuasaan Sriwijaya.
Kemungkinan beliau adalah keturunan dari BalaputraDewa, hal ini berdasarkan
kesamaan cara penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana
dan kesamaan nama Dinasti Warmadewa. Berdasarkan prasasti Blanjong di
Singhadwara,Sanur, prasasti Panempahan di Tampaksiring dan prasasti Malatgede
yang ketiga-tiganya ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau
bulan Februari 9135, beliau berhasil mengalahkan musuh-musuhnya baik di luar
pulau maupun di pedalaman Bali. Tapi kemenangan ini mungkin tidak menyeluruh
karena di pedalaman wilayah kraton Singhamandawa masih berkuasa Sri Ratu
Ugrasena hingga tahun 942.
Persaingan antara dua Dinasti mungkin sekali berubah menjadi
kerjasama, apakah melalui perkawinan atau yang lain, karena setelah berakhirnya
masa Sri Ratu Ugrasena, yang menjadi Raja di Bali adalah dari Dinasti Warmadewa
yaitu keturunan Dalem Sri Kesari, Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa (955-967),
beliau juga bergelar Sri Candrabhaya SinghaWarmadewa atau Indra Jayasingha
Warmadewa, memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika
Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada tahun 960.
Semasa pemerintahannya beliau memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan
di Air Madatu, tempat dimakamnya Sang Ratu Ugrasena. Situasi seperti ini sangat
mirip dengan situasi di Jawa pada masa Kerajaan Mataram, dimana ada persaingan
kekuasaan sekaligus kerjasama antara dua Dinasti, Sanjaya dan Syailendra.
Selanjutnya kekuasaan digantikan oleh putra beliau, Sri Jana Sadhu Warmadewa.
Pada masa beliau ini, konon Bali pada tahun 983 dikuasai
oleh Ratu Sri Maha Raja Sriwijaya Mahadewi yang diperkirakan berasal dari
kerajaan Sriwijaya. Setelah itu berkuasa Sri Dharma Udayana Warmadewa
(989-1011). Beliau lahir sekitar tahun 963. Sebelum menjadi Raja di Bali,
beliau pergi ke Jawa Timur, untuk mempersiapkan diri menjadi Raja dengan mendirikan
pemandian Jalatunda tahun 987 dan melakukan tapabrata di puncak Gunung
Penanggungan. Pada saat pemerintahan Sri Udayana adalah puncak kejayaan Dinasti
Warmadewa di Bali, beliau mempersunting putri dari Jawa Timur, Mahendradatta
Gunaprya Dharmapatni, putri dari Raja kerajaan Watu Galuh Sri Makuta Wangsa
Wardhana. Saudara Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama
TunggaDewa, yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Watu Galuh 3,6.
Pada masa pemerintahan beliau berdua, Udayana dan Mahendradatta,
datang ke Bali seorang pendeta besar bernama Mpu Kuturan, kakak seperguruan
dari Mpu Bharadah, melakukan reformasi terhadap agama Hindu dengan menyatukan
sembilan sekte di Bali menjadi Tri Murti dan nama agama disepakati adalah Agama
Siwa-Budha. Raja Udayana memiliki 3 orang putra, yang pertama adalah Sri
Airlangga,lahir tahun 1000 yang kelak menjadi Raja Kahuripan,yang kedua, Sri
Wardhana Marakata Pangaja TungaDewa (1011-1049), menjadi Raja menggantikan
ayahandanya, dan yang ketiga Sri Anak Wungsu, yang naik tahta menggantikan
kakaknya (1049-1079). Setelah wafat, kekuasaan dipegang oleh Sri Maha Raja Sri
Walaprabhu. Setelah itu sejak tahun 1088, kekuasaan dijalankan oleh putri Sri
Anak Wungsu yaitu Ratu Sakalindhu Kirana (1088-1101), dengan gelar Paduka Sri
Maha Raja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utunggadewi
atau Paduka Sri Maha Raja Gon Karunia Pwa Swabhawa Paduka Sri Saksatnira
Harimurti Jagatpalaka Nityasa., beliau merupakan Raja putri yang pertama di
Bali. Kemudian dari istri yang lain, dua putera yaitu, Sri Suradhipa, menjadi
Raja pada tahun 1101-1119, dilanjutkan oleh sang adik yaitu Sri Jayasakti
(1119-1150).
Sebelum Sri Jayapangus berkuasa, yang menjadi Raja di Bali
adalah Hari Prabhu. Hari Prabhu yang juga dikenal dengan nama Ragajaya berkuasa
selama 27 tahun. Sri Jayapangus berkuasa mulai sekitar tahun 1177 sampai tahun
1181. Sri Jayapangus digantikan oleh Sri Maha Raja Sri Arya Dingjaya Katana
(1181-1200), kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Raja Aji Ekalayalancana
(1200-1204). Kemudian, yang menjadi Raja adalah Batara Guru Aji Kunti Kontana,
yang memiliki dua anak (kembar) putra dan putri, yang putra bernama Sri
DhanadiRaja Lancana dan yang putri bernama Sri Dhanadewi Ketu, keduanya
dinikahkan dan kelak dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Mahasora Mahasori
atau Mahewara Maherswari atau Sri Masula-Masuli. Selanjutnya yang menjadi Raja
adalah Sri Hyang Ninghyang AdiDewa Lancana (1260-1286), kekuasaannya berakhir
setelah Bali ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari dengan Rajanya bernama Sri
Kertanegara, yang kemudian menugaskan Patih Kebo Parud menjadi pelaksana
kekuasaan di Bali.
Setelah kerajaan Singhasari dihancurkan oleh Jayakatwang,
Raja Gelang-Gelang, Kediri, maka kekuasaan di Bali dipegang oleh Sri Mahaguru
Dharma Hutungga Warmadewa, kerajaannya disebut Bata Anyar, berkuasa hingga 1328
. Setelah itu, beliau digantikan putranya yaitu Sri Tarunajaya atau Sri
Walajaya Kertaningrat yang berkuasa hingga tahun 1337. Sesudah itu yang menjadi
penguasa di Bali adalah Sri Tapolung yang bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi
Banten (1337-1343). Beliau disebut juga Dalem Sri Bedahulu , adalah Raja
Dinasti Warmadewa terakhir yang berkuasa di Bali, karena sejak tahun 1343, Bali
ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit, dimana prajurit Majapahit yang menyerang
Bali berada di bawah pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.
Adapun Dinasti yang dimaksudkan diantaranya:
1. Raja Sri Ugra
Sena
2. Raja Sri
Kesari Warmadewa
3. Raja
Candrabhayasinga Warmadewa
4. Raja Dharma
Udayana Warmadewa
5. Raja Marakata
6. Raja Anak
Wungsu
7. Sri Maha Raja
Seri Walaprabu
8. Sri Maha Raja
Sri Sukalendukirana
9. Sri Suradhipa
10. Sri Jayasakti
11. Raja Jayapangus
12. Raja Sri Astasura
Ratna Bhumi Banten
2.2 Nama Raja-Raja Dinasti Warmadewa
2.2.1 Ratu Sri Ugra Sena
Berdasarkan bukti 9 buah Prasasti yang sudah ditemukan
beliau memerintah pada tahun 915-942 masehi, sedangkan di Jawa Timur yang
memerintah adalah Raja Sindok tahun 929-947 Masehi.
2.2.2 Raja Sri Kesari
Warmadewa
Setelah Raja Sri
Kesari Warmadewa berpusat Singhamandawa diketahui di Bali memerintah Raja Kula
Warmadewa. Di dalan kitab kuna yang bernama Raja Purana tersebut seorang Raja
di Bali yang bernama Sri Wira Dalem Kesari. Dikatakan beliau mendirikan istana
disekitar Pura Besakih. Baginda amat tekun beribadah memuja Dewa-Dewa yang
berkhayangan di Gunung Agung.Tempat pemujaan disebut pemujaan Selonding.Beliau
memperluas Pura Penataran Agung di Besakih yang ketika itu masih sangat
sederhana, untuk memperlengkapinya maka didirikanlah beberapa buah Pura di
sekitar Pura Panataran Agung, dengan diberi nama masing-masing , sebagai
berikut:
1. Pura Gelap
untuk memuja Dewa Iswara.
2. Pura Kiduling
Kreteg untuk memuja Dewa Brahma.
3. Pura Ulun
Kulkul untuk memuja Dewa MahaDewa.
4. Pura Batu
Madeg untuk memuja Wisnu.
5. Pura Dalem
Puri untuk memuja Dewi Durga.
6. Pura Basukian
untuk memuja Naga Basukian.
Selanjutnya
dikatakan beliau juga memerintahkan agar perayaan Nyepi tiap-tiap tahun harus dilakukan pada bulan kasanga yang
disebut caitra-masa. Sehubungan dengan uraian diatas yang bersifat tradisional,
ditemukanlah di Pura Blanjong yang terletak diDesa Sanur Kabupaten Badung
sebuah prasasti yang lajim disebut Prasasti Blanjong yang berasal dari dua buah
kata yakni belahan dan jong atau jung. Belah berarti pecah dan jong berarti
perahu. Prasati itu ditatahkan pada sebuah batu monolit, yang kedua belah sisinya terdapat tulisan-tulisan kuna,
sebagian mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan itu menyebutka seorang Raja
yang bernama Kesari Warmadewa yang bersinggasana di Singhadwala, dalam
tulisan-tulisan itu bilangan tahun isaka dengan mempergunakan candrasangkala
(angka tahun dalam bentuk kalimat), yang berbunyi Khecara Wahni Murti. Khecara
berarti lima, Wahni berarti tiga dan Murti berarti delapan. Jadi candrasangkala
menunjukkan angka tahun Isaka 835 (913 Masehi).
2.2.3 Raja
Candrabhayasinga Warmadewa
Mengenai Raja ini hanya ditemukan baru sebuah Prasasti Batu,
yang keadaannya sangat rusak. Prasasti itu disimpan di Pura Sakenan Desa
Manukaya sebelah utara Desa Tampaksiring berangka tahun 960 Masehi. Isinya
menyebutkan peristiwa pembuatan tirta di Air Hampul (Tirta Empul sekarang) di
Desa Manuk raya (sekarang Desa Manukaya). Sampai sekarang tirta itu dipandang
suci dan prasasti batu yang tersimpan di Pura Sakenan sewaktu-waktu disucikan
di Tirta Empul. Demikian juga pada hari raya Galungan banyak barong dari
Kabupaten Gianyar di sucikan di Tirta Empul.
2.2.4 Raja Dharma Udayana Warmadewa
Raja ini merupakan keturunan Raja Sri Kesari Warmadewa yang
dilahirkan di Bali sekitar tahun 963 Masehi, kemudian kawin dengan putri
Mahendradatta dari Jawa Timur sebagai cucu Raja Empu Sindok. Kedua Raja putrid
ini mulai menaiki tahta kerajaan kira-kira tahun 989-1001 Masehi.
Perkawina baginda putrid Gunapria Dharmapatni dengan baginda
Raja Dharma Udayana ternyata banyak membawa perubahan di Bali. Perubahan itu
terjadi dalam struktur pemerintahan kemudian berpengaruh pula di bidang
kebudayaan. Semenjak itu mulailah dipergunakan bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi)
dalam pembuatan-pembuatan prasasti yang
sebelumnya menggunakan bahasa Bali Kuna.
Dari perkawinan Dharma Udayana dengan Gunapria lahirlah
beberapa orang putra di antaranya Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu.
Airlangga di lahirkan di pulau Bali pada tahun 922 Saka atau 1000 Masehi. Ia
kemudian pergi ke Jawa Timur untuk menikah dengan Putri Dharmawangsa yang
mungkin masih keponakan ibunya. Ketika Airlangga berumur kira-kira 16 tahun. Kerajaan Dharmawangsa yang merayakan
perkawinan putrinya denga Airlangga,
tiba-tiba diserang Raja Haji Wurawuri . seluruh keratin musnah terbakar,
sedangkan Dharmawangsa di bunuh. Airlangga melarikan diri dan berdiam di
hutan-hutan. Baru pada tahun 1041 ia dinobatkan menjadi Raja di Jawa Timur. Ia
berhasil menyatukan kerajaan Dharmawangsa pada tahun 1037 Masehi, pada waktu
itu ia juga membuat sebuah wihara di Pucangan. Pada tahun 1042 Airlangga
mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan menjadi pertapa, sampai ia mangkat
pada tahun 1049. Agar anak-anaknya tidak saling berebutan kekuasaan, Airlangga
mengirim Empu Bharadah ke Bali untuk meminta daerah itu untuk diberikan salah
seorang putranya.Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh Empu Kuturan, yang
rupa- rupanya sudah mempunyai calon untuk menempati tahta kerajaan Bali.
Setelah mangkat Gunapriya dicandikan di Pura Bukit Dharma
Kutri Desa Buruan Balu dalam wujud yang menggambarkan arca
Durgamahisasuramardini. Sedangkan Raja Udayana
setelah wafat dicandikani
Banu-wka. Di mana letak Banu-wka ini, hingga kini belum diketahui dengan jelas.
Tetapi menurut Dr. R. Goris terletak di Candi Gunung Kawi yang terdapat di Desa
Tampak Siring.
Anggota penasehat Raja suami istri di antara sekian
banyaknya tersebutlah senapati Kuturan, namanya sering di sebut dalam prasasti
yang masih disimpan di beberapa Desa di Bali. Baginda suami istri sengaja
mengundang senapati Kuturan untuk menertibkan kemasyarakatan penduduk di Bali,
tambahan pula pada waktu itu sudah tiba saatnya bagi senapati untuk menjalankan
bhiksuka atau saniyasa, yakni hidup mengembara guna mengamalkan dharma selaku
guru agama.
Untuk menerbitkan dan menegakkan sendi-sendi
agama/kemasyarakatan di Bali, senapati segera mengadakan pertemuan besar dihadiri oleh para pemuka
masyarakat serta pendeta Siwa dan Budha. Dalam pertemuan itu di putuskan bahwa
paham Tri Murti harus di tegakkan kemBali.
Maka sejak itu terciptalah pura Kahyangan Tiga, yakni tiga
buah pura yang masing-masing disebut :
a. Pura Desa, yang
disebut juga pura Balai Agung untuk memuja kebesaran Dewa Brahma sebagai
pencipta.
b. Pura Puseh, untuk
memuja Dewa Wisnu sebagai pemelihara.
c. Pura Dalem untuk
memuja Dewi Durga sakti Dewa Siwa sebagai pemralina.
Pura
Khayangan tiga tersebut didirikan pada tiap-tiap Desa di Bali, inilah yang
menjadi dasar kekuatan Desa Pakraman di Bali yang berintikan pada adat istiadat
dan agama.
Disamping mengatur bidang keagamaan Empu Kuturan juga banyak mengarang
kitab-kitab suci diantaranya beberapa yang terkenal seperti : Purana Tattwa,
Desa Tattwa memuat pelajaran bagaimana cara memuja Dewa-Dewa.Juga kitab suci
Kusuma Dewa yang mula-mula dikarang oleh Sang Kul Putih , kemudian
disempurnakan lagi oleh Empu Kuturan.
2.2.5 Raja
Marakata
Setelah Raja Dharma
Udayana wafat beliau digantikan oleh putranya Marakata saudara muda dari
Airlangga. Dalam prasasti nama lengkapnya adalah Darmawangsawardhana Marakata
Pangkajasthana UttunggaDewa. Raja oleh rakyatnya dipandang sebagai sumber
kebenaran hukum yang selalu melindungi nasip rakyatnya. Ia selalu memperhatikan
rakyatnya dimana-mana.
2.2.6 Raja Anak
Wungsu
Raja ini menggantikan Raja Marakata dan merupakan putra
bungsu dari Raja Dharma Udayana. Di antara Raja-Raja Bali kuna, anak wungsu
boleh dikatakan Raja yang paling aktif atau mengabadikan peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi pada zamannya. Tidak kurang dari 28 buah prasasti dari
Raja Anak Wungsu berhasil ditemukan, ditambah lagi dengan beberapa prasasti
singkat lainnya yang terdapat di Gunung Kawi, Gunung Penulisan. Ia memerintah
dari tahun 1049 Masehi sampai 1077 Masehi. Didalam prasasti ia disebut sebagai
seorang Raja yang penuh belas kasihan dan dianggap sebagai penjelma Dewa
Kebaikan.
Anak wungsu memerintah selama 28 tahun, masa pemerintahan cukup lama bila
dibandingkan dengan Raja-Raja Bali Kuna lainnya. Hal ini dapat terjadi bila
keadaan agama aman tentram. Prasasti dari Raja ini terbesar di daerah Bali
Selatan, Tengah dan Utara. Setelah Raja wafat di candikan di candi Gunung Kawi
Desa Tampaksiring.
2.2.7 Sri Maha Raja Sri Walaprabu
Raja ini memerintah setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Meninggal tiga buah prasasti yang sampai kepada kita, dan tidak satupun
prasasti itu berangka tahun. Menurut Damais prasasti itu di duga berasal dari
antara tahun 1001 Saka sampai dengan 1010 Saka.
2.2.8 Sri Maha Raja
Sri Sukalendukirana
Dari Raja ini kita hanya memperoleh dua buah prasasti, yang
sebuah berangka tahun 102 S , sedangkan yang lain berangka tahun 1023 S.
2.2.9 Sri Suradhipa
Ia memerintah dari tahun 1037 S, sampai 1041 S.
2.2.10 Sri Jayasakti
Raja ini
meninggalkan prasasti sebanyak 15 buah. Prasasti yang ke 14 dan 15 ditemukan di
Desa Asahduren dan Banjar Gambang. Pada waktu Raja Jayasakti memerintah di Bali
yang memerintah di Jawa pada waktu itu adalah Raja Jayabhaya. Sejak zaman Raja
ini mulailah di Bali memerintah beberapa orang Raja yang menggunakan unsur nama
Jaya (kemenangan) seperti halnya Raja Jayabhaya di Kediri. Raja Jayasakti
memerintah kurang lebih 1133 M sampai 1150 M.
2.2.11 Raja Jayapangus
Jumlah prasasti yang sudah ditemukan atas nama Raja ini
sebanyak 39 buah. Tetapi yang mengherankan bahwa hampir semua prasastinya
dikeluarkan pada tahun yang sama yaitu 1181 Masehi, satu-satunya yang berbeda
adalah prasasti yang sekarang tersimpan di Desa Mantri (Gianyar)
( Manting A ) dan
berangka tahun 1177 Masehi.
2.2.12 Raja Sri
Astasura Ratna Bhumi Banten
Pada tahun 1337 Masehi dinobatkan Seorang Raja di Bali yang
bergelar Astasura Ratna Bhumi Banten, Perkataan Bhumi Banten menunjukkan daerah
dimana beliau memerintah sedangkan Banten diduga sama dengan Bali. Jadi di
pulau Balilah Raja Astasura Bhumi ini bertahta. Sebuah arca yang terdapat di
pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan adalah melambangkan Raja Astasura ketika
berkuasa di Bali. Arca batu padas itu pada bagian punggungnya memuat goresan
yang berbunyi: Mata, kapak, segara atau gunung yang merupakan tahun
candrasangkala Isaka 1254 (tahun 1332 Masehi),merupakan Raja Bali Kuna yang
terakhir.
Sehubungan dengan Raja Astasura ini selanjutnya kitab Kuna
yang bernama “Usana Jawa” menerangkan bahwa Raja Astasura juga bergelar Gajah
Waktra atau Sri Tapolung serta beristana di Bedahulu. Adapun kisahnya lebih
jauh disebutkan bahwa Baginda mempunyai dua orang patih yang ulung
masing-masing bernama Pasung Grigis dan Kebo Iwa. Pasung Grigis bertempat
tinggal di Desa Tangkulak. Terkenal keperwiraannya berperang, mahir didalam
siasat pertempuaran disamping ahli dalam soal pemerintahan. Sedangkan Kebo Iwa
bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan mahir dalam bidang seni bangunan dan
rakyat kagum atas kekuatannya sebab itu Ia disebut juga Kebo Taruna (Taruna
berarti membujang).
BAB III
HASIL PEMBAHASAN
4.1 Sistem
Pemerintahan Dinasti Warmadewa
Untuk
mengetahui susunan pemerintah pada masa lampau di Bali kita mengalami banyak
kesulitan karena tidak semua Raja yang pernah memerintah di Bali meninggalkan
keterangan – keterangan yang dapat dipakai untuk menyusun susunan pemerintahan
pada masa itu. Diantara Raja – Raja Bali yang banyak meninggalkan keterangan
tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa
itu yaitu Raja Udayana, Jaya Pangus, Jaya Sakti, dan Anak Wungsu.
Dalam mengendalikan pemerintahan
Raja dibantu oleh suatu Badan Penasehat Pusat. Dalam prasasti tertua 882 Masehi
– 914 Masehi badan ini disebut dengan istilah “panglapuan”. Sejak masa
pemerintahan Udayana Badan Penasihat Pusat itu di sebut dengan istilah
“pikiran-pikiran I jro makabaihan”. Badan ini beranggotakan :
a. Beberapa orang senapati, menurut Dr. Goris para senapati
pada masa lampau dapat dibandingkan dengan para punggawa pada zaman Kerajaan
Gelgel. Jumlah senapati biasanya 3 orang.
b. Pendeta Siwa dan
Budha.
Golongan ini mempunyai arti sangat penting didalam
penyelesaian upacara-upacara agama, tetapi mereka itu dianggap juga mempunyai
Raja. Sampai sekarang di Bali masih dikenal pendeta istana yang disebut
bagawanta. Didalam prasasti-prasasti golongan pendeta agama Siwa disebut dengan
gelar Dang Acarya, golongan pendeta agama Budha dengan gelar Dang Upadhyaya.
.
4 .2 Agama dan
Keperjayaan Yang Dianut
Dalam bidang
agama pengaruh zaman prasejarah terutama dari zaman megalitikum (zaman batu
besar) masih terasa kuat kepercayaan pada zaman itu dititik beratkan kepada
pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang
disebut Teras Piramid atau bangunan berundang-undang. Kadang-kadang diatas
bangunan teras piramid ditempatkan menhir yaitu tiang batu monolit sebagai
symbol roh nenek moyang merek.
Pada zaman
Hindu hal itu terlihat pada bangunan Pura yang mirip dengan bangunan pundan
berundak-undak. Kepercayaan kepada Dewa-Dewa gunung, laut, dan lain-lainnya
yang berasal dari zaman sebelum masuknya agama hindu, tetap tercemin didalam
kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Bahkan sampai
sekarang benda – benda dari zaman budaya megalitikum masih disimpan dan dipuja
bersama – sama dengan patung – patung agama Siwa dan Budha. Keadaan ini
membuktikan bahwa masyarakat Bali sekarang tidak mudah melepaskan hasil – hasil
budaya dari zaman sebelum hindu. Kedua unsure budaya ini berpadu dengan sangat
harmonis. Hanya kadang – kadang Dewa tertentu berubah namanya dengan nama baru
yang diambil dari bahasa Sansekerta seperti bathara da-tonta (bathara, berasal
dari bahasa sansekerta).
Pada masa
permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sriwijaya Mahadewi, tidak diketahui
dengan pasti agama apa yang dianut pada masa itu. Hanya dari nama – nama biksu
yang memakai unsur nama siwa sebagai contoh biksu piwakangsita, siwa, biksu
siwanirmala dan biksu siwaprajna, siwarudra dan lain – lain. Berdasarkan hal
ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa.
Baru pada masa
pemerintahan Raja udayana dan permaisurinya gunapria ada dua aliran agama besar
yang dipeluk oleh penduduk ialah agama siwa dan agama Budha. Keterangan ini
diperoleh dari prasasti – prasastinya, dimana disebutkan adanya mpungku Sewasogata
(siwa-Budha) sebagai pembantu Raja.
Dalam
kenyataan nya jumlah para pendeta agama siwa lebih banyak bila dibandingkan
dengan para pendeta agama Budha. Hal ini mungkin dapat disimpulkan bahwa agama
siwa lebih besar pengaruhnya dan penganutnya daripada agama Budha.
Meskipun
sebagian besar penduduk pada masa itu menganut agama siwa dan Budha, tetapi
sekte – sekte kecil yang menyembah Dewa – Dewa tertentu pasti ada juga seperti
misalnya Sekte Ganapatya (penyembah Gana), Sora (penyembah Surya) dan
sebagainya. Perkiraan ini berdasarkan kenyataan bahwa banyak sekali arca
ganesha yang ditemukan di Bali antara lain digunung penulisan, pura penataran
sasih pejeng, pura pusering jagat dan lain – lain. Selanjutnya pemujaan kepada
surya (Suryasewana) secara singkat dapat dikatakan bahwa tersebut masih
tercermin hingga sekarang diBali berupa kebaktian kepada siwaditya oleh
golongan brahmana – siddhanta.
BAB IV
METODELOGI PENULISAN
3.1 Jenis dan Sumber
Data
3.1.1. Jenis Data
a. Data
Kualitatif
Data yang diambil dari sumber internet dan buku sejarah yang berbentuk data huruf atau abjad.
3.1.2. Sumber
Data
a. Data
Primer
Data yang diperoleh dari sumber internet (http://reyprakoso15.blogspot.com/)
dan buku sejarah.
b. Data
Sekunder
Data yang diperoleh dari bimbingan guru sejarah., internet
dan buku sejarah.
3.2 Teknik
Pengumpulan Data
3.2.1.
Interview
Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan
narasumber mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tema.
3.2.2.
Kepustakaan
Data-data yang diperoleh dari sumber internet yang berkaitan
dengan tema makalah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari rumusan
masalah diatas kami menarik kesimpulan bahwa sejarah yang menceritakan tentang
Dinasti Warmadewa perlu di pelajari oleh generasi muda untuk mengingat leluhur
kita pada saat masa Dinasti Warmadewa, sehingga arah kehidupan bangsa menjadi
kukuh dan kuat. Selain itu sejarah patut dipelajari untuk membentuk dan mengisi
kepribadian bangsa serta untuk memahami masa lampau sebagai landasan perilaku
kita masa kini dan menetapkan arah ke masa depan diatas kepribadian sendiri.
5.2 Saran
Sebaiknya kita
sebagai generasi muda perlu mengetahui dan mempelajari sejarah-sejarah yang
ada, agar kita dapat mempertahankan budaya dan mengingat leluhur kita dan untuk
menanamkan rasa cinta kepada
perjuangan bangsa dalam rangka memberikan dasar bagi pembentukan Kepribadian
Bangsa.